GELORA.CO - Pengamat politik dari Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah mengingatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera membatalkan Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disetujui DPR dan pemerintah.
Menurut Dedi, sebaiknya Presiden Ketujuh RI tersebut melakukan langkah itu untuk meredam maraknya aksi demonstrasi yang rawan ditunggangi kelompok yang ingin menggoyang pemerintah.
"Jika presiden tidak mengambil sikap dengan berpihak pada rakyat secara umum, sangat berisiko bahkan terhadap posisi kepresidenan. Jangan sampai geliat massa menjadi ajang bagi kelompok tertentu untuk menurunkan Jokowi dari kursi kepresidenan," kata Dedi kepada jpnn.com, Jumat (9/10).
Dosen di Universitas Telkom itu menilai pemerintah dan DPR tak memiliki sense of crisis karena memaksakan kesepakatan tentang pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja justru pada saat banyak penolakan dari berbagai kalangan.
"Sejak awal publik sudah terlihat menolak RUU Ciptaker, bahkan sempat ditunda pembahasan, tetapi pemerintah tidak sabar dan inilah risiko ketika publik diabaikan," ulasnya.
Menurut Dedi, seharusnya Presiden Jokowi memahami kondisi tersebut dan tidak memancing gerakan publik yang lebih besar. "Semestinya presiden belajar dari pengesahan UU KPK yang juga menelan korban karena aksi penolakan publik," jelas Dedi.
Oleh karena itu Dedi menyayangkan keputusan DPR dan pemerintah soal Omnibus Law Cipta Kerja yang memicu aksi unjuk rasa besar-besaran dan vandalisme di mana-mana. Menurutnya, vandalisme itu sebagai reaksi atas keputusan DPR dan pemerintah yang tidak peka.
"Kerusakan sebagai akibat aksi massa tetap menjadi tanggung jawab presiden. Meskipun sangat disayangkan, tetapi reaksi publik muncul karena dipicu kebijakan yang dianggap tidak prorakyat," kata Dedi.
Dedi juga mencatat dua poin penting soal Omnibus Law Cipta Kerja. Pertama, kata dia, dunia tengah mengalami pandemi Covid-19 sehingga arah dan model ekonomi ke depan belum diketahui.
Kedua, kata Dedi, pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja UU minim pelibatan publik. Akibatnya kepentingan publik pun terabaikan.
"Kepentingan-kepentingan publik tidak terakomodasi, dan itu tentu persoalan serius. Tanpa ada pelibatan publik, hanya akan menuai penolakan karena UU dianggap tidak berpihak," kata dia. (*)