GELORA.CO -Pemerintahan Presiden Joko Widodo tetap bersikukuh untuk menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 pada 9 Desember nanti.
Putusan ini masih terus menjadi polemik di masyarakat. Karena, hingga saat ini penambahan kasus positif Covid-19 di Indonesia masih tinggi.
Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ustaz Anwar Abbas, angka positif Covid-19 akan terus bertambah jika pemerintah tetap menyelenggarakan Pilkada serentak di tengah pandemik ini.
Hal itu berkaca pada data penambahan kasus baru yang terkonfirmasi Covid-19 hingga Kamis kemarin (1/10) sebanyak 4.174, sehingga total yang terkonfirmasi positif Covid-19 di tanah air mencapai 291.182 orang.
"Angka ini tentu akan terus bertambah, apalagi negeri ini akan menyelenggarakan Pilkada Serentak. Kekhawatiran itu tentu semakin sangat beralasan apalagi melihat rendahnya tingkat kedisiplinan dan kepatuhan para politisi dan anggota masyarakat terhadap protokol kesehatan yang ada dalam kegiatan yang terkait dengan Pilkada yang akan diselenggarakan dalam masa pandemi Covid-19 ini," ujar Ustaz Anwar Abbas kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (2/10).
Sehingga, dirinya khawatir Pilkada tahun ini akan menjadi tempat penyebaran baru Covid-19 yang lebih masif dan merata.
Bahkan, Anwar menilai Pilkada di tengah pandemi ini menjadi medan yang benar-benar sangat menakutkan bagi masyarakat, lantaran diperkirakan akan terjadi ledakan pasien baru Covid-19.
Sehingga, kata Anwar, persoalan bangsa ini terutama dalam bidang ekonomi akan semakin dalam terpuruknya. Begitupun dengan upaya penanggulangan yang jelas akan semakin berat.
"Memang benar pihak penyelenggara pilkada sudah berkali-kali menyatakan bahwa mereka telah mempersiapkan langkah-langkah bagi terselenggaranya Pilkada yang aman dari ancaman Covid-19, tapi faktanya di lapangan hal itu tidak ada dan tidak tegak. Sehingga bak kata pepatah masih jauh panggang dari api," jelas Anwar.
Dengan demikian, Anwar berharap pemerintah, KPU, dan DPR RI mau meninjau ulang waktu pelaksanaan Pilkada ini agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Pemerintah dan penyelenggara Pilkada tidak perlu merasa malu untuk menunda.
"Kita sepakat bahwa Pilkada adalah tanggung jawab kita bersama, tapi kita tidak bisa terima penyelenggara berlindung di balik kata-kata tersebut. Sehingga bila terjadi musibah dan malapetaka maka tidak ada yang bisa dituntut karena Pilkada ini adalah tanggung jawab kita bersama," kata Anwar.
Padahal, menurut Anwar, tugas negara dan pemerintah seperti yang diamanatkan oleh konstitusi adalah melindungi rakyatnya. Oleh karena itu, pihak yang sangat bertanggung jawab dalam masalah ini tentu adalah pemerintah dan penyelenggara Pilkada itu sendiri.
"Karena mereka tetap ngotot untuk menyelenggarakannya padahal seperti kita ketahui masyarakat luas sudah mengimbau dan mendesak pemerintah, KPU, dan DPR untuk menundanya," tegas Anwar.
Oleh karena itu, Anwar pun mempertanyakan bentuk tanggung jawab pemerintah jika nantinya fakta di lapangan terjadi ledakan penyebaran virus secara luas, yang mengakibatkan banyak warga masyarakat yang sakit dan meninggal dunia.
"Maka pertanyaannya, seperti apa bentuk pertanggungjawaban yang akan ditanggung dan akan dipikul oleh pemerintah dan pihak penyelenggara? Apakah cukup mereka menyampaikan permintaan maaf saja kepada rakyat luas atau mereka harus diseret ke meja hijau untuk mempertanggungjawabkan keputusan dan perbuatannya?" tanya Anwar.
Dan, kalau akan diseret ke meja hijau siapa di antara mereka yang harus diseret, diadili, dan dihukum serta dipenjarakan? Saya tidak tahu jawabannya karena saya tidak ahli tentang hukum. Jadi silakan yang tahu yang menjawab dan menjelaskannya," pungkas Anwar. (Rmol)