GELORA.CO - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menilai ada pola kekerasan yang sama dan berulang terhadap jurnalis oleh anggota polisi.
Sebagian besar jurnalis akan menjadi korban kekerasan ketika sedang meliput atau merekam anggota polisi menganiaya massa aksi. "Polisi tidak mau kejahatannya diketahui dari publik. Akhirnya yang dia lakukan adalah mengintimidasi, merusak dan menghapus barang bukti," ujar Manan dalam diskusi daring pada Sabtu, 10 Oktober 2020.
Menurut Manan, setiap anggota polisi mengetahui tugasnya ketika turun dalam aksi unjuk rasa adalah memulihkan keamanan. Apalagi negara menjamin unjuk rasa lewat undang-undang.
Sehingga, ketika ada anggota yang memukul atau menganiaya massa aksi, di mana perbuatan tersebut telah melanggar UU, maka polisi akan berusaha menekan atau menghilangkan kasus dengan menghilangkan barang butki.
"Makanya mereka menyerang wartawan. Kalau mereka lagi menolong orang, enggak mungkin wartawan dapat kekerasan, malah mungkin dapat reward karena sudah mendokumentasikan," kata Manan.
Dalam aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja pada 6-8 Oktober, AJI Indonesia mencatat ada 28 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Puluhan kasus itu terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia.
Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito Madrin merinci, untuk jenis kasus kekerasan paling banyak adalah pengerusakan alat dan perampasan data hasil liputan. "Yakni ada 9 kasus. Lalu, intimidasi 7 kasus, kekerasan fisik 6 kasus, dan penahanan 6 kasus," ucap dia di diskusi yang sama. (*)