GELORA.CO - Perpolitikan Republik Indonesia awal tahun 1950an mendidih. Saat itu baru saja Indonesia benar-benar berdaulat setelah Belanda tak lagi melancarkan agresi militer.
Situasi politik dan ekonomi di negara muda ini terombang-ambing. Demokrasi parlementer yang diterapkan hanya menghasilkan konflik politik tak berkesudahan. Kabinet jatuh bangun, dan persaingan antar parpol terus memanas.
Angkatan Darat pun terpecah. Ada kubu Nasution dan kubu Kolonel Bambang Supeno.
Konflik dalam militer ini ditunggangi kepentingan politik dari partai politik yang duduk di DPR. Kubu Kepala Staf Angkatan Darat Nasution merasa DPRS terlalu turut campur pada urusan militer. Selain itu ada isu rasionalisasi atau pengurangan personel TNI.
Puncaknya tanggal 17 Oktober 1952. Kubu Nasution menggerakkan massa untuk mendesak Presiden Soekarno membubarkan DPR. Mereka juga menaruh empat meriam berisi peluru di depan istana untuk menggertak Soekarno.
Nasution dan sejumlah perwira Angkatan Darat pun menghadap Soekarno meminta DPR dibubarkan. Mereka mencoba memanfaatkan Soekarno untuk membubarkan parlemen dan mengakhiri kontrol politikus atas tentara.
Tapi Soekarno tak gentar. Dia menyebut aksi Kolonel AH Nasution ini sebagai percobaan setengah kup atau kudeta. Nasution berkilah, dia tidak ingin melawan Soekarno tetapi sistem pemerintahan.
Soekarno membeberkan peristiwa ini dalam biografinya yang ditulis Cindy Adams. Dia naik pitam. Soekarno marah sekali pada Nasution.
"Engkau benar dalam tuntutanmu tapi salah dalam caranya. Soekarno tidak akan menyerah menghadapi paksaan. Tidak pernah kepada seluruh tentara Belanda dan tidak kepada satu batalyon Tentara Nasional Indonesia!" bentak Soekarno .
Nasution membalas. "Bila ada kekacauan di negara kita, setiap orang berpaling kepada tentara. Tokoh-tokoh politik membikin peperangan, tetapi si prajurit yang harus mati. Wajar bila kami turut berbicara tentang apa yang sedang berlangsung," kata Nasution.
Namun penjelasan Nasution soal aksi itu hanya membuat Soekarno semakin marah.
"Mengemukakan apa yang terasa di hatimu kepada Bung Karno-YA. Tetapi mengancam Bapak Republik Indonesia-TIDAK! JANGAN SEKALI-KALI!"
Soekarno lalu keluar menemui massa seorang diri. Setelah berdialog dengan presiden massa malah berteriak-teriak mendukung Soekarno .
"Hidup Bung Karno , hidup Bung Karno!"
Soekarno pun menatap empat meriam 25 pon buatan inggris yang moncongnya menghadap istana. Dia memarahi prajurit itu. Para prajurit yang takut malah kemudian ikut berteriak Hidup Bung Karno!
Peristiwa 17 Oktober membuat perpecahan Angkatan Darat makin lebar. Mayor Jenderal TB Simatupang yang dinilai pro-Gerakan 17 Oktober diberhentikan dari Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP).
Akhir kisruh demokrasi parlementer di Indonesia berakhir saat Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isinya ialah kembali berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950. Serta pembubaran Konstituante. TNI mendukung Dekrit tersebut.
Setelah itu Indonesia memasuki masa baru Demokrasi Terpimpin dimana Presiden Soekarno berkuasa penuh memegang kekuasaan. []