GELORA.CO - Ternyata Turki sudah sangat siap menghadapi serangan Yunani dan Prancis terkait sengketa di Laut Mediterania timur.
Panglima perang Turki, Jenderal Hulusi Akar menyatakan, negaranya tak akan menerima kehadiran pasukan Prancis di perairan Laut Mediterania timur.
Menurut Jenderal Akar, militer Turki telah siap menghadapi kemungkinan terburuk dari sengketa itu termasuk jika harus bertempur dengan militer Prancis. Dan dia memastikan, tak seorang pun tentara Prancis yang bisa datang.
Jikapun militer Prancis tetap nekat, maka Turki sudah menyiapkan perang besar untuk memulangkan mereka, kembali ke negaranya.
Jenderal Akar sangat yakin, Prancis tidak akan berani berperang melawan Turki terkait sengketa maritim yang terjadi antara Turki dengan Yunani.
Baginya, semua ancaman yang dilayangkan Prancis kepada Turki terkait tindakan militer, hanya sebuah omong kosong dan cuma sebuah gertakan saja.
"Ada orang yang datang dari ribuan kilometer dan mencoba menggertak, membuat klaim, untuk bertindak sebagai malaikat pelindung. Ini tidak bisa diterima. Mereka datang dan pergi saat mereka datang," katanya dalam siaran resmi Kementerian Pertahanan Turki yang diterima VIVA Militer, Jumat 4 September 2020.
Ancaman Jenderal Akar ini sepertinya bukan bualan belaka, terbuka Turki memang telah menyiapkan Pusat Operasi Udara Terpadu. Tempat ini merupakan pusat komando tempur dan pusat pemantauan keamanan seluruh wilayah Turki termasuk perairan Laut Mediterania timur.
Bahkan, Jenderal Akar telah mengumpulkan semua panglima perang semua angkatan di tempati itu. Mulai dari Kepala Staf Umum, Jenderal Yasar Guler; Panglima Angkatan Darat, Jenderal Umit Dundar; Komandan Angkatan Laut, Laksamana Adnan Ozbal; dan Komandan Angkatan Udara, Jenderal Hasan Kucukakyuz.
Menurut Akar, Prancis sama sekali tidak punya urusan dengan Turki dan Yunani. Dan Prancis harus tahu diri, sebab Prancis bukan negara yang ditunjuk Uni Eropa untuk menuntaskan sengketa Laut Mediterania timur.
Akar mengatakan, kehadiran Prancis dalam sengketa itu cuma sebagai pihak yang menebar ancaman tak berdasar kepada Turki, dengan mendukung Yunani dalam mempertahankan kesalahan terkait batas wilayah maritim di Mediterania.
Karena itulah, Akar menegaskan tak ada gunanya Prancis ikut campur dan sebaiknya pergi dari sengketa itu. Akar dengan tegas menyatakan Turki hanya mempertahankan hak atas wilayah yang disengketakan. Bukan melakukan invasi dan merebut kedaulatan negara lain.
"Yunani dan Turki . Tapi di sini, ada pelaku intimidasi yang sulit dimengerti. Misalnya, Prancis, tidak ada penjamin, tidak ada perjanjian, Anda bukan perwakilan UE, hak apa Anda datang ke sini? Jika Anda pergi keluar sendirian dan berkata, "Saya akan menjadi pahlawan", maka waktu penindasan telah berlalu. Kami tidak mengejar kecemasan atau intimidasi. Kami mengejar hak dan kepentingan kami dengan iman, pengetahuan, logika, sains, hukum, dengan jelas dan eksplisit. Tidak ada yang bisa mencegah ini juga," kata Jenderal Akar.
Menurut Akar, keterlibatan pihak ketiga dalam hal ini yang menyatakan dirinya sebagai sekutu Yunani dalam sengketa hanya akan memperburuk situasi. Akar meminta semua negara yang bersekutu dengan Yunani untuk berpikir secara objektif.
"Negara ketiga juga harus melihat masalah ini secara rasional. Jika ini terjadi, hanya masalah ini yang dapat diselesaikan. Jika Anda mencabut embargo Siprus Selatan dan mencoba mengganggu keseimbangan dengan cara ini, ini akan membawa konflik, bukan perdamaian, tetapi kebangkrutan. Semua orang harus tahu itu juga, " kata dia.
Untuk diketahui, sebelumnya Prancis menebar ancaman kepada Turki terkait sengketa di Laut Mediterania timur. Prancis mendadak berencana mengerahkan armada perang laut besar-besaran ke perairan tersebut untuk mendukung militer Yunani.
Tak tanggung-tanggung, Prancis berencana mengirimkan kapal induk nuklir andalannya, Charles de Gaulle dan serombongan kapal perang lainnya lengkap dengan jet-jet tempur dan helikopter serbu.
Kapal induk bertenaga nuklir terbesar di Eropa Barat itu disebutkan akan diberangkatkan dari Pelabuhan Toulon. Digambarkan rombongan pasukan militer Prancis itu bergerak dalam posisi siap tempur.
Pengerahan pasukan Angkatan Laut Prancis ke Mediterania timur dipicu ancaman perang yang dilontarkan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan kepada Prancis dan Yunani.
Erdogan telah menyatakan siap menumpahkan darah dan berkorban nyawa untuk mempertahankan hak kedaulatan wilayah maritim di Laut Mediterania timur.
Erdogan bahkan dengan tegas menyatakan tak takut berperang melawan negara manapun di Mediterania timur termasuk Yunani dan Prancis yang bersekutu.
Sementara itu, saat ini di Laut Mediterania timur sedang berlangsung latihan perang besar-besaran yang digelar Angkatan Laut Turki, latihan perang bersandi dalam sebuah operasi bernama Navtex. Operasi ini baru saja diperpanjang hingga 11 September 2020.
Prancis sebenarnya bukan pihak langsung yang terlibat dalam sengketa maritim di Laut Mediterania timur. Yang bersengketa sebenarnya Turki dan Yunani. Hanya saja Prancis menilai Turki bersalah dengan melakukan kegiatan seismik di perairan itu. Malah Prancis mengirimkan jet tempur ke Yunani untuk membantu memerangi Turki.
Situasi di Laut Mediterania timur memanas setelah Turki memindahkan pasukannya dari Laut Hitam ke perairan itu. Pemicunya, Turki marah besar atas perjanjian batas maritim yang secara sepihak disepakati Yunani dan Mesir.
Turki tak terima dengan hasil kesepakatan dalam perjanjian yang dibuat Yunani dan Mesir. Sebab, sebelum ada perjanjian itu, Turki sempat meredakan ketegangan di Mediterania dengan menunda eksplorasi survei seismik yang digagas Stasiun Antalya Navtex di selatan dan timur Pulau Kastellorizo Yunani.
Turki menunda semua aktivitas seismik untuk menghargai penolakan yang dilayangkan Yunani terkati Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Namun setelah Yunani dan Mesir menandatangani perjanjian ZEE, Turki juga nekat melanjutkan survei dengan kembali melayarkan Kapal Oruc Reis dengan dikawal kapal-kapal perang. []