Transaksi Mata Uang Yuan China di Indonesia Kian Masif

Transaksi Mata Uang Yuan China di Indonesia Kian Masif

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Penggunaan mata uang yuan di Indonesia mendapatkan momentum besar dalam beberapa tahun terakhir didukung oleh proyek infrastruktur yang terkait dengan Belt and Road Initiative dan meningkatnya jumlah perusahaan Tanah Air yang berbisnis di China.

Selama satu dekade terakhir, China telah muncul sebagai mitra dagang terbesar Indonesia, dengan perdagangan bilateral mencapai US$ 79,4 miliar pada 2019.

Xiao Qian, Duta Besar China untuk Indonesia, mengatakan angka tersebut menigkat sepuluh kali lipat dibandingkan dengan capaian pada 2000.

Dia menambahkan bahwa lebih dari 2 juta turis China per tahun telah mengunjungi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Sementara itu, China juga merupakan tuan rumah pelajar Indonesia terbesar kedua. Lebih dari 10.000 pelajar Indonesia menuntut ilmu di negara tersebut.

Dino Patti Djalal, mantan Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia dan pendiri China Policy Group yang terdiri atas pejabat, akademisi dan pakar kebijakan, mengatakan volume perdagangan yang berkembang pesat ini telah membuatnya lebih menarik bagi perusahaan Indonesia untuk menggunakan yuan ketika berurusan dengan orang China.

Namun, dia mencatat bahwa beberapa perusahaan China masih lebih suka menggunakan dolar AS di bank mengingat kekuatan relatifnya.

"Komunitas bisnis Indonesia juga mencatat bahwa semakin banyak negara mulai menggunakan yuan untuk cadangan mata uang asing," katanya, dilansir South China Morning Post, Minggu (20/9/2020).

Dia menambahkan bahwa China adalah investor asing terbesar kedua di Indonesia dengan investasi tahun lalu sebesar US$4,7 miliar di bawah belakang Singapura yang memompa investasi sekitar US$6,5 miliar.

Saat ini, perdagangan Indonesia dengan China lebih dari dua kali lipat dari perdagangannya dengan Amerika Serikat. Menurutnya, dengan margin yang besar, tampaknya AS tidak mungkin menyalip China dalam hal hubungan perdagangan dengan Indonesia.

Dia memperkirakan bahwa mata uang tersebut akan digunakan oleh lebih banyak ekonomi Asean terutama karena ekonomi China adalah salah satu dari hanya sedikit yang pulih pada kuartal kedua setelah guncangan besar yang disebabkan oleh pandemi virus Corona.

"Ekspor Indonesia ke China belum separah ekspor ke negara lain. Artinya ada banyak harapan yang disematkan pada China dalam hal pemulihan ekonomi [Indonesia]," kata Djalal.

Setelah kontraksi year-on-year sebesar 6,8 persen di kuartal pertama tahun ini, China mencatat pertumbuhan produk domestik bruto sebesar 3,2 persen pada kuartal kedua, mengalahkan ekspektasi analis.

Negara ini sebagian besar telah mengendalikan pandemi di dalam perbatasannya, dengan aktivitas ekonomi kembali ke sekitar 90 persen dari tingkat pra-pandemi pada akhir April.

Sementara itu, PDB Indonesia menyusut 5,32 persen secara tahunan pada kuartal kedua, karena ekonomi terbesar di Asia Tenggara itu terus berjuang melawan salah satu wabah terbesar di kawasan itu.

Wisnu Wardana, ekonom Bank Danamon Indonesia, mengatakan persentase total perdagangan internasional yang dilakukan dengan menggunakan yuan telah meningkat dari 0,5 persen pada 2016 menjadi 2 persen pada paruh pertama tahun ini. Angka itu senilai ekspor dan impor sekitar US$2,7 miliar.

"Di masa lalu, perusahaan lokal telah diberi insentif dengan diskon jika mereka membayar dalam yuan kepada rekan-rekan mereka di China", kata Wisnu.

Meskipun demikian, dia mencatat bahwa insentif tersebut telah dikurangi baru-baru ini dan perusahaan lokal tidak mengetahui alasannya.

Proyek Belt and Road seperti jalur rel berkecepatan tinggi senilai US$6 miliar akan menghubungkan Jakarta ke pusat tekstil Bandung merupakan bagian yang cukup besar dari penggunaan yuan di Indonesia. Namun, Wisnu mengungkapkan bahwa yuan juga digunakan di sektor-sektor seperti produk kimia, elektronik, makanan dan minuman, perkapalan, alat tulis dan plastik.

Pertumbuhan yuan di Indonesia juga didorong oleh kesepakatan pertukaran mata uang bilateral selama tiga tahun yang ditandatangani oleh bank sentral kedua negara pada 2018.

Perjanjian tersebut memungkinkan kedua belah pihak untuk menukar total 200 miliar yuan (US$29,6 miliar) dengan Rp440 triliun (US$29,9 miliar) untuk memfasilitasi penyelesaian perdagangan bilateral dan memberikan dukungan likuiditas ke pasar keuangan.

Awal bulan ini, analis Morgan Stanley memperkirakan bahwa yuan dapat melampaui yen Jepang dan poundsterling untuk menjadi mata uang cadangan terbesar ketiga di dunia pada 2030, terhitung antara 5 persen dan 10 persen dari aset cadangan devisa global, naik dari 2,02 persen yang dilaporkan oleh Dana Moneter Internasional pada akhir Maret. (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita