GELORA.CO - Belum genap satu tahun setelah pembacaan proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada 12 Februari 1946, peristiwa bersejarah pernah terjadi di Kota Cirebon, Jawa Barat.
Saat itu, Partai Komunis Indonesia (PKI) di bawah kepemimpinan Mohammad Joesoep dan Mr Suprapto mencoba mengambil alih kekuasaan di Cirebon dan melucuti persenjataan milik TRI.
Dalam buku berjudul 'Komunisme di Indonesia Jilid I: Perkembangan Gerakan dan Pengkhianatan Komunisme di Indonesia (1913-1948)' yang diterbitkan oleh Pusjarah TNI, tahun 1999 menyebutkan, PKI di Cirebon diketahui lahir pada 7 November 1945 di bawah pimpinan Mohammad Joesoep dan Mr Suprapto. Mohammad Joesoep adalah seorang advokat dan pernah menjabat sebagai Ketua Persatuan Supir Indonesia (Persi).
Budayawan Cirebon, Nurdin M Noer, dalam tulisannya yang berjudul 'Pemberontakan PKI Antara di Cirebon dan Madiun' menyebutkan, PKI di Cirebon di bawah pimpinan Mohammad Joesoep dan Mr Suprapto mencoba memanfaatkan situasi sosial politik yang tidak stabil saat awal masa revolusi. Sebab, ketika itu, ada pertentangan antara golongan moderat dengan golongan revolusioner, perihal bagaimana cara untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan.
Situasi ini kemudian dimanfaatkan PKI Cirebon untuk menguasai kondisi politik dalam rangka persiapan rencana pemberontakan. Di bawah pimpinan Mohammad Joesoep dan Mr Suprapto, mereka mencoba menarik simpati rakyat, dengan mendatangkan Laskar Merah dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, dengan alasan untuk menghadiri konferensi sehingga tidak menimbulkan kecurigaan.
Hal tersebut dilakukan Mohammad Joeseop dan Mr Suprapto karena keduanya sadar untuk menarik simpati masyarakat Cirebon kala itu tidaklah mudah.
Pada 9 Februari 1946, rombongan PKI dan Laskar Merah dari luar daerah tiba di stasiun kereta api Cirebon. Pada 12 Februari 1946 dengan bersenjata lengkap mereka menginap di Hotel Ribberink (Grand Hotel).
PKI menyebarkan isu ke masyarakat luas, kalau polisi tentara telah melucuti anggota Laskar Merah, dari Jawa Tengah yang baru saja tiba di Stasiun Cirebon. Letda D. Sudarsono, seorang polisi tentara Cirebon mencoba datang ke stasiun menemui seorang bintara jaga. Dia hendak memastikan kebenaran isu tersebut.
Sesampainya dia di stasiun, Letda D Sudarsono justru disambut dengan tembakan. Pasukan Laskar Merah mengepungnya dan membawanya ke Markas Polisi Tentara Kabupaten di Hotel Phoenic.
Ulah PKI dan pasukan Laskar Merah tidak berhenti sampai di situ. Mereka melucuti kekuatan bersenjata di Cirebon. Selain itu, tentara yang ditangkap mereka jadikan tawanan. Hal ini dilakukan dalam upaya PKI menguasai pemerintahan. Situasi kala itu tidak terkendali. Pasukan Laskar Merah merampok dan menguasi gedung-gedung vital di Cirebon.
Melihat situasi yang seperti itu, Panglima II/Sunan Gunung Jati Kolonel Zainal Asikin Yudadibrata segera mengirim utusan untuk berunding dengan Mohammad Joesoep di Hotel Ribrink. Setelah berunding, PKI di bawah pimpinan Mohammad Joesoep berjanji menyerahkan senjata-senjata hasil rampasan esok harinya.
Akan tetapi, ternyata pihak PKI tidak menepati janji tersebut. Atas dasar itu, Panglima Divisi II meminta bantuan pasukan dari Komandan Resimen Cikampek untuk dikirim ke Cirebon. Dipimpin Mayor Banuhadi, sebanyak 600 prajurit Banteng Taruna dikirim ke Cirebon.
Pada 13 Februari 1946, pasukan gabungan dari TRI, Polisi Tentara dan pasukan lain melakukan penyerbuan pertama untuk merebut pos-pos pertahanan dan markas pemberontak dari PKI di Hotel Ribberink. Penyerbuan pertama ini berakhir dengan kegagalan karena kurangnya persenjataan pasukan. Sedangkan, PKI serta pasukan Laskar Merah memiliki persenjataan yang lengkap.
Lalu pada esok harinya, tepatnya pada 14 Februari 1946, penyerbuan kembali dilakukan. Penyerbuan ini dipimpin langsung oleh Komandan Resimen Cikampek Kolonel Moefreini Moekmin. Dalam penyerbuan tersebut, pasukan gabungan berhasil melumpuhkan pemberontak.
Akhirnya, pasukan PKI menyerah. Pimpinan mereka yakni Mohamad Joesoep dan Mr Suprapto berhasil ditangkap dan diajukan ke pangadilan tentara.
PKI Pernah Jadi Partai Berpengaruh di Cirebon
Pemerhati sejarah sekaligus Ketua Dewan Kesenian Cirebon Kota (Dekaciko), Akbarudin Sucipto menjelaskan, sebelum meletusnya peristiwa G30S/PKI pada 1965, PKI pernah menjadi partai yang berpengaruh di Cirebon. Bahkan, anggota mereka masuk dalam struktur pemerintahan di Cirebon.
PKI menggunakan pendekatan kulturan dalam menyebarkan pengaruhnya. Mereka juga membaur dengan masyarakat di Cirebon.
"Mereka juga menggunakan pendekatan kultural. Artinya mereka berani membaur dengan masyarakat. Aktivis perempuan kala itu baik di desa maupun di kota didominasi Gerwani," kata Akbar kepada Okezone belum lama ini.
Dia menambahkan, ada salah satu pejabat di pemerintahan Kota Cirebon yang menjadi anggota PKI sebelum meletusnya G30S PKI. Ia adalah Raden Slamet Ahmad (RSA) Prabowo bin Ki Hatmo, Wali Kota Cirebon yang menjabat dari 1960 sampai 1965.
"Kemudian di Cirebon sampai meletusnya Gerakan 30 September 65 saja, Wali Kota Cirebon Raden Prabowo itu fungsionaris PKI," ujarnya.
Setelah peristiwa G30S/PKI, Raden Prabowo diadili dan harus meringkuk di Rumah Tahanan Militer (RTM) di Jalan Benteng, Cirebon.
Menurut Akbar, Raden Prabowo kala itu memiliki keleluasan untuk berkomunikasi dengan Komite Central PKI. Hal ini, lanjutnya, menjadi bukti kalau PKI pernah jadi partai besar di Cirebon.
Masih kata dia, kader dan simpatisan PKI juga melakukan doktrin terhadap anak-anak di Cirebon. Mereka mencuci otak anak-anak dengan propaganda PKI.
"Dari sisi propaganda, mereka masuk ke semua lini. Bahkan sampai level anak-anak," tuturnya.
Meski menjadi partai besar, pengaruh PKI di Cirebon perlahan hilang setelah peristiwa G30S/PKI. Orang-orang yang dianggap sebagai kader ataupun simpatisan PKI ditangkap dan diadili.[]