Sertifikasi Dai: Warisan Kolonial dan Snouck Hurgronje?

Sertifikasi Dai: Warisan Kolonial dan Snouck Hurgronje?

Gelora News
facebook twitter whatsapp


Oleh: Beggy Rizkiansyah, Pegiat Jejak Islam dan penulis sejarah Islam
(Republika)

Lagi-lagi kontroversi! Kementerian Agama di bawah Menteri Fachrul Razi seakan tak berhenti dari kontroversi yang terus menyeret umat Islam. Kita tentu belum lupa dengan pernyataan pembuka Fachrul soal cadar, cingkrang dan radikalisme.

Seakan belum cukup, belum lama Menteri yang terhormat ini melontarkan kembali soal radikalisme yang kali ini beliau sandingkan dengan penghafal Qur’an (hafiz) yang good looking.

Radikalisme memang menjadi kosa kata yang sering terucap dari Fachrul Razi. Cadar, cingkrang, hafiz dirangkai bersama radikalisme. Tentu bermain wacana saja tidak cukup. Oleh sebab itu Kementerian Agama tengah bersiap melakukan program sertifikasi dari.

Tak pelak soal sertifikasi ini mengingatkan kita akan politik pengawasan yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda. Kebijakan pengawasan  dikenal dengan ‘Ordonansi guru.’ Sebuah kebijakan yang dikeluarkan pada tahun 1905 yang mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu, sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama. (Aqib Suminto: 1996)

Mengawasi Guru Agama ala Pemerintah Kolonial

‘Ordonansi guru’ tak bisa dilepaskan dari peristiwa pemberontakan Petani di Banten pada tahun 1888. Sejak saat itu Pendidikan agama Islam disorot oleh pemerintah kolonial. Penasihat pemerintah kolonial di Priangan, K.F. Holle menyarankan pada tahun 1890 agar pendidikan agama Islam diawasi. Holle juga meminta agar setiap tahun para bupati melaporkan daftar guru agama di setiap daerahnya. 

Instrumen kebijakan seperti ini semakin tajam ketika pada tahun 1904, Snouck Hurgronje menyarankan agar pengawasan tersebut meliputi adanya izin khusus dari bupati. Maka setahun kemudian, lahirlah ‘Ordonansi guru’ yang berlaku di Jawa dan Madura kecuali Yogyakarta dan Solo.

Secara teknis tentu saja peraturan ini membuat guru-guru agama kesulitan. Sebab mereka tidak memiliki administrasi yang memadai dalam mengelola pengajiannya. Banyak pula di antara mereka yang tidak mampu membaca huruf latin dan sedikit sekali yang memiliki mesin tulis untuk mengisi lembar daftar laporan.

Secara tersirat ‘Ordonansi guru’ tak lain adalah sebuah instrumen untuk menekan agama Islam karena dikaitkan dengan ketertiban dan keamanan (Aqib Suminto: 1996). Guru-guru agama yang memohon izin kemudian diawasi oleh para pejabat dan diperiksa apakah guru tersebut bertindak sesuai dengan izin yang diberikan. Bahkan para murid yang berasal dari luar daerah dari guru ini pun diawasi.

‘Ordonansi guru’ ini pun akhirnya dievaluasi oleh pemerintah kolonial. Mereka menganggap ordonansi ini tidak efisien karena laporan berkala yang diberikan oleh para bupati dianggap kurang meyakinkan. Di samping itu, kala itu situasi politik dinilai sudah tidak memerlukan lagi kebijakan ‘memburu’ guru agama. 

Sebagai gantinya, pemerintah kolonial mengeluarkan ‘Ordonansi guru’ yang baru dan dikeluarkan pada tahun 1925. Ordonansi ini hanya mewajibkan guru agama untuk memberitahu (bukan meminta izin). Secara cakupan, peraturan ini diperluas hingga ke Aceh, Sumatera Timur, Riau, Palembang, Tapanuli, Lombok dan Manado, kemudian menyusul Bengkulu. 

Pada prakteknya ordonansi ini tetap menjadi alat yang menghambat dakwah umat Islam pada saat itu. Haji Fachrodin dari Muhammadiyah (yang juga menjadi aktivis Sarekat Islam) mengeluhkan ordonansi ini sebagai rintangan yang menghalangi kemajuan dan penyebaran Islam di Indonesia. Muhammadiyah dalam kongres ke XVII pada tahun 1928 dengan keras menuntut agar Ordonansi guru ini dicabut. 

Sarekat Islam juga menolak pengawasan terhadap guru agama seperti ini. Kongres Al-Islam tahun 1926 di Bogor menyerukan penolakan terhadap cara-cara pengawasan ordonansi ini. Kewajiban memberi tahu kurikulum, guru dan murid secara berkala dinilai oleh Sarekat Islam sebagai memberatkan.

Tetapi di Sumatera Baratlah reaksi amat keras timbul menolak ordonansi ini. Dalam sebuah rapat akbar di Bukittinggi pada 19 Agustus 1928, sekitar 800 ulama hadir mewakili 115 organisasi. Sumatera Barat memang menjadi sasaran empuk kebijakan pengawasan semacam ini. Pada tahun 1927 telah terjadi pemberontakan komunis di Silungkang. Uniknya  di Minangkabau, aturan yang diterapkan lebih mirip ordonansi guru 1905 ketimbang yang berlaku pada tahun 1925. Sebab diperlukan izin bagi guru agama untuk berdakwah.

Para ulama yang hadir dalam pertemuan akbar tersebut sangat khawatir kemerdekaan agama mereka akan terganggu. Salah seorang peserta rapat akbar tersebut, S. Sutan Mangkuto, mengutip hadist yang memerintahkan agar seorang Muslim berani menghadapi pemerintah melawan peraturan semacam itu.

Namun tak ada pidato yang lebih mengguncang jiwa ketimbang pidato yang diuraikan oleh Haji Rasul, ayah dari Buya Hamka. Di momentum tersebut Haji Rasul menyatakan,

“Dari mulai mendengar ini auran akan dijalankan di negeri kita ini seperti yang telah dijalankan di tanah Jawa dan Madura, sungguh gemetar seluruh tubuhku. Selalu pikiranku berasa kacau, tak dapat apa yang akan aku katakan, apa yang mau diperbuat  berhubung dengan itu. Maka sekarang wahai kaumku Muslimin!! Berpegang teguhlah pada tali Allah dan janganlah berpecah-pecah juga!! Di zaman yang beginilah kelihatannya bahaya perpecahan itu. Perkataan yang aku keluarkan ini ialah perkataan yang keluar dari hati yang ikhlas dan suci, mengajak kamu sekalian sama memperhatikan bahaya apa yang menantang Islam di masa ini.” 

Rapat akbar tersebut akhirnya menelurkan mosi yang berpendapat bahwa ‘Ordonansi guru’ merupkan penghambat bagi umat Islam melaksanakan kewajiban mereka. Mosi tersebut juga menyebutkan bahwa peraturan tahun 1925 melanggar kemerdekaan Islam, dan menambahkan bahwa bila diberlakukan maka ketertiban dan ketentraman tidak akan terpelihara lagi. 

Hasil dari mosi tersebut kemudian menuai hasil. Pemerintah kolonial Belanda memutuskan menarik aturan tersebut dari wilayah Minangkabau. Keberhasilan mosi ini tak lepas dari ajakan untuk Bersatu. Ajakan Haji Rasul untuk bersatu tampaknya berhasil menggungah para ulama Minangkabau yang selama ini bertikai dua kubu antara ulama Kaum Mudo (modernis) dan Kaum Tuo(tradisionalis).
Kebijakan melihat kembali ‘Ordonansi guru’ membantu kita untuk memahami kebijakan yang sama saat ini dengan label sertifikasi. Di balik label sertifikasi kita tak dapat memungkiri aroma islamophobia yang melekat pada kebijakan ini.

Pintu Masuk Islamophobia?

Chris Allen dalam bukunya, Islamophobia (2010) menyebutkan bahwa peran sejarah dan peristiwa kunci tertentu membantu kita memahami hubungan antara sejarah dan islamophobia kontemporer. Seiring bertumbuhnya penaklukan bangsa barat yang ditopang kolaborasi dengan dunia akademik, pemahaman baru tentang Islam dan dunia Muslim muncul, bukan sekedar dilihat sebagai sesuatu yang ilmiah tetapi juga sebagai penyokong kekuasaan imperial.

Islam dilihat bukan sebagai sesuatu yang harus dihapuskan, tetapi kekuatan relijius yang harus digantikan dengan model eropa dari nasionalisme sekular. Tujuan dari kolonialis adalah ‘mereformasi Islam’, yang berarti membuatnya menjadi sekular. Ini pula yang menjadi tujuan dari orientalis semacam Snouck Hurgronje yang menganggap aspirasi politik Islam sebagai sesuatu yang berbahaya seraya menganggap hukum-hukum Islam sebagai peninggalan abad pertengahan yang ketinggalan jaman.

Pertanyaannya adalah apakah penentangan akan dimensi politik Islam dapat dikategorikan sebagai islamophobia? Apalagi jika hal ini terjadi di negeri yang mayoritas muslim seperti Indonesia? Mungkinkah islamophobia terjadi di negeri mayoritas muslim?

Disinilah kita bisa melihat bagaimana paradigma barat yang sekular menjangkiti negeri mayoritas muslim dan melihat identitas politik muslim sebagai ancaman bagi negara bangsa-sekular ala barat. Atau mengutip Salman Sayyid, islamophobia adalah mengenai membuat identitas politik Muslim mustahil untuk hadir.

Tetapi bagaimana mungkin seorang Muslim dalam negeri mayoritas muslim dapat mengamini Islamophobia seperti ini? Hal ini tentu saja tak dapat dilepaskan dari akar kolonialisme yang menghampiri negeri-negeri mayoritas muslim di berbagai belahan dunia.

Paradigma sekular barat menurut Bayrakli, Hafez & Paytre dalam Making Sense of Islamophobia in Muslim  Society telah menghegemoni produksi pengetahuan sehingga perspektif non-muslim dalam melihat Islam telah menjadi titik awal bagi banyak pemikir muslim dan pembuat kebijakan. Hal ini berakar dari peran kolonisasi yang menghancurkan struktur normatif Islam dan beralih kepada model negara-bangsa ala Eropa melalui  penerapan administrasi modern, militer dan pendidikan lewat pemaksaan. 

Tentu saja tidak semua negeri mayoritas muslim mengalami hal ini. Ada pula negeri seperti Turki, dan Iran yang mengalami westernisasi yang dijembatani oleh elit muslim yang tersekularkan seiring bangkitnya negara bangsa model Eropa. Model negara-bangsa ala Eropa ini ditiru baik secara praktis (misalnya penerapan  institusi modern, birokrasi atau sekolah) dan juga sebagai ideologi (modernisasi sebagai jalur peradaban dan pandangan hidup). 

Elit Muslim yang tersekularkan inilah yang kemudian menjadi elit penguasa yang menentukan haluan negeri mereka. Meskipun proses westernisasi ini berbeda-beda di tiap negeri sejak akhir abad ke-18 hingga saat ini, namun hampir semua elit sekular ini terikat dengan penimbangan ulang yang radikal mengenai tradisi/pandangan hidup/cara hidup Islam dan konsekuensinya mereka menganggap hal ini sebagai rintangan untuk penerapan negara modern. 

Perjalanan panjang paradigma ala barat yang terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya ini terus hidup hingga kini. Maka bukan hal mengherankan jika, seorang muslim di negeri mayoritas Muslim mengidap islamophobia yang mewarisi paradigma ala kolonialis. Di Indonesia, cara pandang sekularistik yang melihat Islam hanya sebagai aspek ritual dan menolak (atau lebih tepatnya menyerang) aspirasi politik Islam adalah warisan penting dari Snouck Hurgronje.

Maka narasi seputar 200 ulama rekomendasi, monsterisasi cadar, celana cingkrang hingga wacana standarisasi dai adalah narasi yang harus dilihat secara berkesinambungan, dan berujung pada persoalan paradigma ini. Islamophobia yang mungkin tanpa disadari menjangkiti sebagian anak bangsa. (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita