GELORA.CO - Influencer yang disebut oleh Jurubicara Presiden Joko Widodo, Fadjroel Rachman, sebagai ujung tombak demokrasi digital dinilai sah-sah saja. Namun bukan berarti tanpa persoalan.
Begitulah akademisi Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah UIN Jakarta, Adi Prayitno, berpendapat.
Pasalnya, dia memandang influencer ini telah menjadi momok bagi pemerintah karena terbukti dibiayai oleh negara.
"Influencer sah saja sebagai upaya untuk pembangunan demokrasi digital. Tapi problemnya kalau influencer ini harus nyusu ke APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) itu yang jadi masalah," ujar Adi Prayitno saat dihubungi Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (1/9).
Di tengah kondisi pandemik virus corona baru (Covid-19) sekarang ini, banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan, berkurang pendapatannya, dan bahkan sulit untuk kembali mencari kerja.
Karena itu, Adi Prayitno menyayangkan serapan anggaran pemerintah tidak jauh mengalir ke penuntasan persoalan ekonomi rakyat, melainkan mengucur ke influencer sebesar Rp 90,45 miliar, sebagaimana yang telah diungkap Indonesia Corruption Watch (ICW).
"Banyak orang yang sekarang kesulitan secara ekokomi, kesulitan cari kerjaan tiba-tiba dana yang begitu besar terserap ke influencer yang bermain di dunia maya," tandasnya.
Sebaliknya, Direktur Eksekutif Parameter Politik ini tidak mempersoalkan jika influencer yang dianggap menjadi ujung tombak demokrasi digital tidak dibiayai negara. Maka otomatis, pesan-pesan yang sampai ke masyarakat akan bersifat objektif dan benar adanya.
"Ya memang kerjaannya influencer kerjaan partisipatif, untuk menjelaskan kepada publik yang sebenar-benarnya apa yang sedang terjadi di negara ini. Bukan justru menggiring opini sesuatu yang buruk menjadi baik. Kan itu yang jadi rame," demikian Adi Prayitno menambahkan. (*)