GELORA.CO - Pandemi Covid-19 telah mengubah kondisi sosial masyarakat di seluruh dunia. Roda ekonomi mengalami dampak yang serius, sehingga mengakibatkan potensi orang miskin baru di manapun bertambah.
Uluran bantuan pemerintah menjadi satu hal yang paling ditunggu. Beragam insentif kepada rakyat tidak hanya diberikan di Indonesia, tapi juga oleh negara-negara lain demi mendongkrak daya beli dan menggairahkan ekonomi yang lesu.
Namun demikian, pemerintah Indonesia terkadang abai dengan beragam kebijakan yang dikeluarkan. Tak jarang kebijakan itu justru mencekik rakyat di lapisan bawah.
Seperti masalah defisit BPJS Kesehatan yang mencapai puluhan triliun rupiah. Pemerintah dengan mudah mengeluarkan Perpres 75/2019 yang mengatur kenaikan iuran peserta BPJS Kesehatan naik dua kali lipat.
Mahkamah Agung memang telah membatalkan Perpres tersebut. Tapi belum sampai iuran rakyat kembali normal, pemerintah kembali menerbitkan Perpres 64/2020 yang isinya juga mengatur kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Rakyat seolah dijadikan tumbal atas kesalahkaprahan pengelolaan manajemen BPJS Kesehatan. Salah kaprah ini pernah diutarakan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melalui hasil auditnya. Di mana disebutkan ada kelemahan yang harus dibenahi BPJS, antara lain data kepesertaan, sistem rujukan, sistem tagihan klaim yang diindikasikan adanya klaim berlebihan (fraud).
Belum selesai polemik BPJS Kesehatan, publik yang tengah dirundung krisis ekonomi kembali dikejutkan dengan tagihan tarif listrik yang membengkak hingga 3 kali lipat. Masyarakat dari berbagai lapisan menjadi korban tarif yang mendadak tinggi itu.
Tidak hanya rakyat kecil, tapi juga sekelas artis berpenghasilan tinggi seperti pasangan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina sempat mengeluhkan tagihan listrik yang tembus Rp 17 juta sebulan.
PLN sendiri memang pernah mengalami kerugian di kuartal I 2020 hingga Rp 38,88 triliun. Spekulasi bahwa tagihan itu berkaitan dengan kerugian yang diderita PLN pun mencuat. Rakyat lagi-lagi jadi tumbal dari perusahaan listrik yang seharusnya untung karena memonopoli kehadiran listrik bagi 270 juta lebih rakyat Indonesia.
Teranyar, rakyat Indonesia dikejutkan dengan rencana PT Pertamina yang akan menghapus dua jenis BBM, Pertalite dan Premium. Padahal dua jenis BBM ini adalah yang paling banyak dikonsumsi rakyat kecil karena harga yang terjangkau.
Rencana ini tentu menjadi kontroversial. Sebab, di tahun ini Pertamina belum menurunkan harga BBM tanah air. Padahal, harga minyak dunia sempat anjlok hingga nilai terendah.
Alih-alih mendapat keringanan harga, rakyat kini justru dihadapkan pada kenyataan bahwa Pertamina akan menghapus dua jenis BBM yang paling murah.
Rencana penghapusan sendiri tidak lepas dari pengumuman Pertamina yang menyebut telah mengalami kerugian di semester I 2020 sebesar Rp 38,88 triliun.
Beragam kebijakan yang menjadikan rakyat sebagai tumbal kerugian ini harus segera dihentikan oleh Presiden Joko Widodo. Sebab bukan tidak mungkin rakyat yang sedang terlilit krisis kembar, ekonomi dan kesehatan, akan marah jika terus ditekan.
Potensi amarah itu tidak boleh dianggap sepele. Setidaknya Jokowi bisa belajar dari pengalaman kegagalan menghadapi krisis di tahun 1997-1998, di mana rakyat murka dan berujung penumbangan rezim.(rmol)