Oleh:M Rizal Fadillah
Sumatera Barat menjadi Provinsi yang mendukung Negara Pancasila" kata Puan Maharani saat mengumumkan rekomendasi PDIP pada pasangan Cagub Mulyadi dan Ali Mukhni.
Sontak ucapan ini menimbulkan reaksi banyak pihak. Dinilai menyinggung warga Sumbar dan merugikan pasangan PDIP sendiri.
Menyinggung karena menganggap Sumatera Barat sebagai Provinsi yang tak setia atau tak mendukung Negara Pancasila. Padahal tokoh-tokoh Sumatera Barat banyak yang menjadi loyalis, pejuang, bahkan perumus Pancasila. Mohammad Hatta adalah Proklamator Negara Pancasila.
Merugikan pasangan PDIP, karena menjadi beban berat bagi pasangan itu. Bakal dimusuhi oleh banyak warga Sumatera Barat yang merasa dilecehkan oleh anak Ketum PDIP tersebut. Bukan mustahil bisa muncul "negative campaign" jangan pilih pasangan PDIP.
Puan bukan saja tidak taktis tapi lucu, atau mungkin lugu. Belum matang meski sudah menjadi Ketua DPR RI. Atau karbitan.
Ada persoalan serius yang mengganjal atau perlu klarifikasi. Pancasila yang mana yang dimaksud oleh Puan. Sebab bila Pancasila yang kini diakui yaitu rumusan 18 Agustus 1945 warga Sumatera Barat tentu tidak diragukan loyalitasnya. Seperti uraian di atas, pendiri negara itu banyak dari kalangan tokoh Sumatera Barat.
Nah jangan-jangan Pancasila 1 Juni 1945 yang dimaksudkan oleh Puan. Pernyataan ini bukan hal mengada-ada. Ada basis argumen dan dasarnya karena PDIP secara platform partainya memang berjuang untuk Pancasila 1 Juni 1945.
Pasal 10 butir g Anggaran Dasar berbunyi seperti ini:
"Memengaruhi dan mengawasi jalannya penyelenggaraan negara agar senantiasa berdasarkan pada ideologi Pancasila 1 Juni 1945, UUD 1945 serta jalan Trisakti sebagai pedoman strategis dan tujuan kebijakan politik partai demi terwujudnya pemerintahan yang kuat dan efektif, bersih, dan berwibawa".
Hal ini diperkuat oleh Pasal 6 sebagai aturan yang mendahuluinya. "(a) alat perjuangan guna membentuk dan membangun karakter bangsa berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945".
Nah jelas wajar jika muncul keraguan bahwa Pancasila yang diperjuangkan oleh PDIP beserta kader adalah Pancasila 18 Agustus 1945. Dalam keraguan seperti ini menjadi aneh jika Puan Maharani berharap pada masyarakat Sumbar agar menjadi pendukung Negara Pancasila. Kecuali jika Puan memaknai yang dimaksud adalah Pancasila 1 Juni 1945.
Keceplosan atas "keluguan" atau "kelucuan" Puan ini mesti menjadi pelajaran bagi PDIP untuk berpolitik lebih konsisten dalam membela Pancasila. Bukan merasa yang paling ber-Pancasila dengan realita pemaknaan Pancasila yang kabur. Perlu evaluasi mendasar untuk meluruskan. Tanpa evaluasi dan koreksi PDIP akan menjadi sorotan sebagai partai perongrong Pancasila.
Jadi, penilaian dari ucapan Puan bukan hanya melecehkan warga sumbar dan merugikan pasangan PDIP, tetapi juga sikap merasa paling Pancasila di tengah upaya pengaburan Pancasila.
Megawati sang ibunda pernah menyebut saat ini kita tak perlu lagi memperdebatkan soal Pancasila. Setuju saja, jika itu adalah Pancasila 18 Agustus 1945, akan tetapi jika yang dimaksud dan diperjuangkan adalah Pancasila 1 Juni 1945, maka rakyat dan bangsa Indonesia harus dan wajib memperdebatkan dengan sekeras-kerasnya. Sekeras-kerasnya.
(Pemerhati Politik dan Kebangsaan)