PDIP Tidak Memahami Manajemen Krisis Pada Birokrasi Pemda

PDIP Tidak Memahami Manajemen Krisis Pada Birokrasi Pemda

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

Oleh:Gde Siriana Yusuf
 Agak miris jika petinggi partai di level sekjen tidak memahami bagaimana birokrasi daerah bekerja selama ini.

Pertama saya ingin menjabarkan tentang apa yang dibutuhkan birokrasi dalam menghadapi krisis. Yang paling utama adalah kecepatan birokrasi daerah dalam merespon krisis.

Di sini lah diperlukan adanya adaptasi atas krisis yang sedang dihadapi, dalam hal ini pandemi Covid-19. Kemudian birokrasi harus meningkatkan respon mereka terhadap krisis.

Dengan demikian birokrasi daerah perlu di set up ulang untuk menjalankan dua tugas sekaligus, yaitu pelayanan masyarakat yang rutin dan mengatasi pandemi. Tentu ini bukan pekerjaan yang mudah terkait sumber daya, pengalaman dan anggaran.

Tetapi birokrasi sebenarnya telah memiliki nilai (value) dan ketahanan (resilience) yang dapat mempengaruhi kemampuan birokrasi beradaptasi dengan tantangan krisis untuk kinerja dan efiesiensi.

Dalam praktek rekrutmen kepala daerah, realitasnya  pengaruh kepala daerah secara politik dalam birokrasi hanya sebagai kepemimpinan yang memberi visi bagi pembangunan daerah.

Sedangkan menurut UU 23/2014 tugas kepala daerah antara lain memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD; memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat; menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang RPJPD dan rancangan Perda tentang RPJMD kepada DPRD untuk dibahas bersama DPRD, serta menyusun dan menetapkan RKPD; menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang RPJPD dan rancangan Perda tentang RPJMD kepada DPRD untuk dibahas bersama DPRD, serta menyusun dan menetapkan RKPD.

Dari uraian di atas jelas bahwa tugas kepala daerah untuk memimpin. Yaitu memimpin birokrasi yang telah lama berjalan sistematis. Ibarat supir menjalankan bus yang masih laik jalan, bukan bus mogok.

Artinya, sebenarnya dalam kondisi khusus, siapapun supirnya bus tetap akan bisa jalan. Begitu juga birokrasi. Akan tetap jalan baik meski dipimpin Plt karena telah dipagari oleh UU dan peraturan lainnya.

Apalagi jika Plt yang ditugaskan berasal dari Kemendagri yang tentunya sudah sangat paham karakter birokrasi di masing-masing daerah.

Lalu apa yang masih kurang dari birokrasi saat krisis pandemi ini? Dalam proses penyesuain terhadap krisis seringkali terjadi deviasi, dalam hal ini sinergisitas dan konsistensi dengan pemerintah pusat. Hal ini tentu saja dapat memperlambat respon terhadap krisis atau bahkan menimbulkan kebingungan dalam sistem birokrasi. Hasilnya sudah jelas, yaitu inefektivitas dan inefisiensi.

Karena itu yang paling urgen saat ini adalah kembali fokus pada krisis dan menjalankan apa yang seharusnya dilakukan dengan mekanisme yang lebih responsif dalam koridor tata kelola pemerintahan daerah yang berlaku.

Lalu apa masalah-masalah yang timbul ketika pilkada dilaksanakan dan terbentuk rezim baru di pemda saat krisis?

Pertama, selama proses Pilkada para ASN daerah kehilangan fokusnya terhadap pandemi, setidaknya terpecah.

Kedua, kepala daerah terpilih perlu menyesuaikan diri lagi dengan persoalan pandemi juga dalam hal kordinasi dengan bawahannya.

Ketiga, fokus kepala daerah pun terpecah dengan tugas-tugas lain yang berkaitan dengan DPRD seperti anggaran dan Perda.

Mungkin bisa saja kepala daerah baru membawa perspektif baru dalam menghadapi pandemi tetapi tetap saja efektifitas nya akan ditentukan bagaimana koordinasi dan implementasinya, di mana itu butuh penyesuaian lagi antara ASN dan kepala daerah baru.

Terakhir, saya ingin mengingatkan PDIP juga bahwa sudah banyak lembaga internasional yang mengeluarkan “policy brief on elections during Covid-19”.

Isinya tentu saja untuk mengingatkan dan mempertimbangkan resiko dan ancaman dalam pelaksanaan Pemilihan selama pandemia, yaitu ancaman peningkatan penularan Covid.

Selain itu saya  juga ingin mengingatkan  persoalan kualitas Pilkada itu sendiri, yaitu potensi ketidak hadiran pemilih saat pencoblosan karena takut Covid, hingga pemilih yang tidak peduli siapa terpilih asalkan dapat uang di tengah kesulitan ekonomi (wani piro).

Bung Hasto, ini bukan lagi soal pro pemerintah atau oposisi. Juga bukan soal kampret cebong. Ini soal moral dan akal sehat kita yg katanya punya falsafah Pancasila. Di mana nalar mu ketika korban berjatuhan kau bikin pesta demokrasi berjudul pilkada.

Tengoklah wajah petugas medis dan pemakaman yang bekerja sudah melampaui batas. Benar tidak ada yang tahu kapan Covid-19 berakhir. Bisa saja jika Pilkada diputuskan ditunda, ternyata bulan depan Covid-19 berakhir.

Tapi itu pun tak perlu menyalahkan pihak lain, karena setidaknya bung sudah menunjukkan empati kepada para petugas medis, petugas makam, korban meninggal dan masyarakat yang masih sakit.

Karena saat ini, itulah yang diperlukan untuk menyatukan perspektif kita semua untuk bersama melawan Covid-19.

(Komite politik dan pemerintahan KAMI)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita