Oleh:Gunawan Pharrikesit SH
PASCA penikaman terhadap ulama besar Syekh Ali Jaber, timbul polemik tentang pelaku apakah gila atau tidak, spontan atau terencana. Pertanyaan besarnya kemudian, sanksi yang pas buat pelaku.
Peristiwa berdarah yang turut melukai hati umat muslim itu sendiri terjadi di panggung halaman Masjid Falahudin, Jl. Tamin, Tanjungkarang Pusat, Kota Bandarlampung, Rabu lalu (13/9).
Alpin (24), sang pelaku, dalam aksinya, melesat bak peluru menancapkan pisau ke tubuh Syekh--pinjam istilah Herman Batin Mangku dalam opininya berjudul "Peluru Itu Bernama Alpin".
Semua terhenyak, bagaimana bisa Syekh Ali Jaber yang pembawaan dikenal tenang, tausiyahnya sejuk, dan tak ada masalah dengan pelaku kok hendak dibunuh?
Banyak pertanyaan di dalam benak publik. Apa lagi sejak dini, ayah pelaku, Rudi (46) langsung menyebutkan bahwa putranya mengalami gangguan jiwa alias gila.
Kabid Humas Polda Lampung, Kombes Pandra, telah menyatakan pelaku berhalusinasi saat aksi tersebut.
Reaksi yang besar dari publik, pihak kepolisian kemudian menyatakan kemungkinan pelaku dikenakan pasal 351 KUHP (penganiayaan) dan UU Darurat karena membawa senjata tajam.
Selang beberapa waktu kemudian, polisi mengatakan akan mengenakan pasal 340 KUHP tentang perencanaan pembunuhan yang menghilangkan nyawa seseorang.
Ada kesan, pihak kepolisian tidak konsisten. Satu sisi bilang pelaku berhalusinasi, tapi sisi lain pelaku dinyatakan normal dan akan dikenakan sejumlah sanksi KUHP.
Dari sini, penulis sebagai seorang advokat menilai pihak kepolisian melakukan standar ganda dalam upaya penanganan kasus berdarah ini.
Idealnya dalam konstruksi hukum, penyidik tidak boleh menggunakan dua keyakinan berbeda. Penyidik tidak boleh "abu-abu".
Yang pasti, peristiwa tersebut telah menimbulkan atau berdampak sangat meresahkan kalangan para ulama dan umat Islam.
Keresahan yang ditimbulkannya tersebut yang bisa saya kategorikan sebagai aksi teror. Teror terhadap ulama dan umat Islam.
Menurut saya, pelaku yang telah menimbulkan keresahan harus dikenakan UU No.5 Tahun 2018 tentang Terorisme. Aksi teror tidak harus dilakukan secara berjamaah atau dengan bersama-sama pihak lainnya (kelompok paham tertentu).
Sebagai contoh, pelaku penusukan terhadap Wiranto dituntut 16 tahun penjara pakai UU No.5 Tahun 2018 tentang Terorisme.
Penusukan yang dialami Syekh Ali Jaber juga bukan kriminal biasa. Dampaknya, ulama dan umat Islam menjadi resah, terteror, oleh aksi yang belum jelas motivasi pelaku.
Apalagi, peristiwa serupa bukan baru kali ini saja. Beberapa ulama lainnya mengalami teror serupa bahkan ada yang wafat.
Penyerangan berulang terhadap ulama merupakan teror. Aksi kekerasan yang menimbulkan keresahan serta rasa takut dan trauma terhadap orang banyak.
Namun sayang belum satupun terungkap, siapa dalang dari semua aksi teror ini.
Dalam UU No. 5 Tahun 2018 tentangTerorisme, pasal 1 ayat (1): terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.
Pasal 1 ayat (2) berbunyi: Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Pasal 1 ayat (3): Kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya.
Melatarbelakangi uraian di atas, penulis berpendapat bahwa sudah sepatutnya pelaku diterapkan sangkaan UU No. 5 Tahun 2019 tentang UU Terorisme.
(Penulis merupakan seorang advokat)