Oleh:Henrykus Sihaloho
SEPERTI diketahui, 2 Maret 2020 secara resmi Pemerintah mengakui ada kasus Covid-19 di Indonesia. Pascapengumuman itu masyarakat segera menyerbu masker.
Untuk merespons itu, dengan keyakinan penuh Pemerintah kemudian menyatakan hanya orang yang sakit dan para dokter dan tenaga kesehatan yang memerlukan masker.
Berbeda dengan tagar sesudah itu hingga sekarang, Pemerintah melalui Gugus Tugas saat itu rajin berpesan melalui tagar agar masyarakat “Di rumah aja.”
Bulan April, Pemerintah menganulir pernyataannya soal masker, dan berbalik mengatakan bahwa masyarakat harus memakai masker. Menariknya, hingga kini sosialisasi pemakaian masker menjadi prioritas nomor satu dan menomorduakan yang lain.
Tagar “Indonesia Bermasker” pun muncul di mana-mana bak jamur di musim hujan. Tidak mengherankan kemudian, petugas yang awam soal kesehatan pun jadinya menomorsatukan pemakaian masker ini dan merasa tidak bersalah bila mengabaikan jaga jarak saat melakukan razia pemakaian masker.
Kontras dengan Presiden Uganda dan Presiden Ghana
Cara kita menangani Covid-19 kontras dengan “ala” Presiden Uganda Yoweri Museveni. Dalam konteks kekinian, bila kita membaca pesan lengkap yang disampaikan Presiden Uganda Yoweri Museveni kepada rakyatnya dalam memerangi Covid-19 yang dirilis oleh beritaenam.com pada 11 Mei 2020 yang lalu, kita bisa melihat betapa berbedanya para pemimpin kita dengan orang nomor satu di Uganda, negerinya Jenderal Purnawirawan Idi Amin Dada itu.
Dari pesan Presiden Uganda kita segera menangkap betapa seriusnya pandemi Covid-19 ini di mata beliau. Dari data Covid-19 per 17 September 2020, negeri di Afrika Timur yang berpenduduk sekitar 100 ribu lebih banyak dari Provinsi DKI ini mencatatkan total 9.468 kasus dengan 63 meninggal di dunia.
Sekadar perbandingan, pada saat yang bersamaan DKI mencatatkan 58.582 kasus dengan kematian 122 orang (hampir dua kali lipat dari Uganda).
Penulis merasa perlu kembali mengangkat enam poin penting dari pesan Presiden Uganda itu untuk menggugah dan menggugat kembali kengototan kita melaksanakan Pilkada 2020 pada 9 Desember mendatang.
Pertama, meski ini tidak termasuk poin penting, kita tidak menemukan kata “masker” dalam pidato Presiden Uganda itu, yang ada “menjaga jarak” dan “mencuci tangan.”
Kedua, meski Museveni pernah mendapatkan latihan gerilya dan bergabung dengan dinas intelijen, beliau hanya rajin menggunakan kata “perang,” namun dalam menangani Covid-19 beliau tidak bermaksud menggunakan mesin perang dan tidak merasa perlu melibatkan tentara dan intelijen.
Ketiga, Penulis tidak merasa perlu mengutip kata “idiot” yang ditujukan beliau kepada rakyatnya. Namun permintaan Museveni kepada rakyatnya untuk tetap sabar “di rumah aja” sampai pandemi Covid-19 berakhir tidak hanya perlu kita petik, tetapi juga kita mesti garisbawahi di sini karena senada dengan pesan-pesan yang kita gaungkan di awal pendemi.
Tidak hanya itu, Museveni juga meminta rakyatnya untuk sabar menahan kelaparan dan berdoa agar tetap hidup untuk bisa makan lagi. Dari kata-kata itu, Penulis bisa memastikan, seandainya ada pilkada di sana, beliau tetap konsisten dengan kata-kata di atas.
Keempat, perkenankan Penulis mengutip kata-kata utuh berikut, “Selama perang, anda tidak berdebat tentang membuka bisnis anda. Anda bahkan menutup toko anda (jika anda punya waktu), dan berlari untuk menyelamatkan hidup anda."
Penulis merasa tidak perlu menginterpretasikan pernyataan ini, namun hanya merasa harus melengkapinya dengan sebuah pernyataan Presiden Ghana hampir enam bulan yang lalu (29 Maret 2020) yang hingga kini kerap dikutip orang, “Kita tidak tahu bagaimana menghidupkan kembali orang, namun, kita bisa melindungi kehidupan masyarakat, kemudian mata pencaharian mereka."
Kelima, Museveni mengibaratkan Covid-19 sebagai tentara musuh kita yang merupakan pasukan yang tak terlihat, cepat, dan efektif tanpa ampun.
Masalahnya, karena tidak terlihat dengan mata telanjang (hanya bisa dilihat dengan mikroskop elektron), ini membuat kita berani berspekulasi kasus Covid-19 tidak akan merebak tajam meski di saat pendaftaran pun kita sudah menyaksikan di berbagai tempat massa berkerumun, tanpa tindakan yang memadai dari aparat untuk segera mengakhirinya.
Bahkan aparat kita pun membisu dan tanpa malu melakukan pembiaran atas sejumlah demonstrasi di berbagai tempat yang menolak keabsahan calon tertentu.
Sekarang saja Pemerintah, DPR, dan KPU sudah berada dalam posisi “business as usual” seperti rakyatnya, apalagi hingga dua setengah bulan mendatang.
Dari ketiga lembaga ini kita sudah terbiasa mendengar, “Tanpa pilkada pun masyarakat sudah melakukan kegiatan keseharian mereka.” Tanpa mereka sadari, kata-kata ini bisa menjadi sinyal bagi masyarakat, “silakan melakukan ‘business as usual.’
Karena itu pada tempatnya kita sekarang bertanya, “Apakah Negara masih hadir manakala Covid-19 semakin mencemaskan?” “Di mana kesabaran Negara saat Negara mengatakan, ‘Mari berpilkada, toh kita tidak tahu kapan pandemi ini berakhir’?” Aneh bila Negara sampai frustrasi.
Keenam, Covid-19 tidak dapat bertahan jika ada jarak sosial dan fisik. Poin keenam ini merupakan pernyataan pamungkas dari seorang optimis yang meletakkan keselamatan rakyat sebagai hukum yang tertinggi. Sebagai negarawan yang optimis keduanya membatin, “Habis gelap terbitlah terang.”
Penulis harus mengakui sangat awam mengenai kedua negara di benua Afrika ini. Semasa SD-SMP penulis mengenal Uganda karena sepak terjang Idi Amin Dada Oumee yang berkuasa dari 1971-1979 dan saat “Peristiwa Entebbe” terjadi pada malam 3 Juli-4 Juli pagi.
“Peristiwa Entebbe” merupakan satu misi penyelamatan yang berhasil dilakukan oleh Sayeret Matkal, pasukan elit Israel dengan membebaskan 102 dari 106 tawanan di Lapangan Terbang Entebbe, Uganda.
Sementara itu Penulis mengenal Ghana, negeri di Afrika Barat yang berpenduduk lebih dari 30 juta itu hanya lantaran prestasi sepak bolanya yang tergolong ciamik (dua kali peserta Piala Dunia, dan masing-masing 4 kali juara pertama dan kedua Piala Afrika).
Lantaran pengetahuan yang minim pada kedua negara itu, Penulis tidak bisa memastikan apakah kedua negara memiliki tujuan nasional untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darahnya atau tidak.
Beruntunglah kita. Selain memiliki Pancasila yang termaktub di alinea keempat Pembukaan UUD 1945, di alinea yang sama tercantum pula dengan megah tujuan nasional kita yang pertama, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Untuk konteks kekinian melindungi yang dimaksud termasuk melindunginya dari terpapar Covid-19 dan terkapar (meninggal) karena Covid-19.
Hebatnya lagi, di bagian batang tubuh konstitusi kita itu tertera pula turunannya yang berbunyi, "Setiap orang berhak untuk hidup (Pasal 28A) dan hak untuk hidup itu tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (Pasal 28I), termasuk oleh Pilkada 2020."
Jelaslah, pernyataan kedua pemimpin Afrika di atas memastikan mereka meletakkan keselamatan rakyat di atas segalanya (Salus populi suprema lex esto), bukan membawa mereka “hidup penuh bahaya” atau "hidup menyerempet bahaya" (vivere pericolosamente).
Bisa disebutkan, poin paling penting dan paling utama dari pernyataan mereka adalah “Negara hadir bagi rakyatnya.”
Sebagai penutup, Penulis mengajak para pemimpin kita untuk tidak malu-malu meneladani kedua pemimpin Afrika itu. Jangan melihat ajakan ini berasal dari seorang papa seperti penulis.
Kecil-kecil begini, pada 1 Juli 2014, karena perbedaan pandangan dan prinsip, Penulis bersama beberapa pengurus inti sayap partai berani ke luar dan meninggalkan kursi bergengsi yang sudah sempat kami duduki 2,5 tahun.
Bahkan Penulis sendiri dengan halus menolak tawaran yang disampaikan melalui Kepala Sekretariat partai tersebut untuk menjadi salah satu Ketua DPP partai yang sekarang ikut dalam koalisi.
(Doktor dari IPB dan dosen di Universitas Katolik Santo Thomas)