PKI bangkit! Begitu kata sejumlah Jenderal Angkatan Darat. Diantaranya adalah Jenderal (purn) Ryamizard Ryacudu, saat menjabat sebagai Menhan. Juga Jenderal Gatot Nurmantyo saat menjadi Panglima TNI. Mereka mengaku punya data. Benarkah? Pro-kontra terus mengisi media.
Sebagian masyarakat setuju dan membenarkan pernyataan para Jenderal Angkatan Darat itu. Ada sejumlah fakta yang layak dijadikan indikator.
Pertama, munculnya dorongan sejumlah pihak agar Jokowi selaku kepala negara secara resmi meminta maaf kepada keluarga PKI.
Menurut mereka, PKI itu korban, bukan pelaku. Korban stigma maupun korban pembantaian. Tidak hanya sampai disitu, keluarga dan anak turun PKI pun ikut jadi korban. Mereka dicabut hak-hak politiknya. Mereka dijadikan warga kelas dua. Tidak bisa jadi anggota TNI, Polri, PNS,, dan posisi kenegaran yang lain. Bagi mereka, perlakuan ini sangat menyakitkan. Era reformasi tiba, mereka mengkonsolidasikan diri, lalu bangkit dan melawan.
Atas semua perlakuan ini, sejumlah orang mendesak Jokowi minta maaf. Siapa orang-orang ini? Diantara mereka adalah anak cucu PKI. Secara biologis, mungkin juga ideologis, mereka adalah generasi kedua.
Kedua, muncul buku berjudul “Aku Bangga Jadi Anak PKI”. Buku ini ditulis oleh seorang politisi PDIP. Dari judul buku ini memberi pesan tegas bahwa kehadiran PKI bukan kecelakaan sejarah, karena itu layak untuk hidup di Indonesia.
Ketiga, beredar berbagai atribut PKI. Masih simpang siur, apakah ini kerjaan orang-orang yang ingin bangkitkan PKI, atau operasi inteligen. Kecil kemungkinan itu iseng. Tapi, setidaknya atribut itu beredar dan dipakai oleh sejumlah orang secara terang-terangan.
Keempat, munculnya RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). RUU ini dicurigai sebagai upaya regulatif untuk menghidupkan kembali PKI. Kecurigaan ini muncul ketika pengusul RUU ini menolak mencantumkan TAP MPRS No 25 Tahun 1966 tentang larangan Komunisme, Marxisme dan Leninisme. Apalagi kemudian di RUU ini ada penyempitan pencasila menjadi Eka Sila yaitu gotong royong.
Hingga kini, RUU HIP belum juga dikeluarkan dari prolegnas. Padahal, protes rakyat sangat keras terhadap RUU HIP ini. Termasuk di dalamnya adalah MUI dan ratusan ormas.
Di tengah menguatnya kecurigaan rakyat, terutama TNI dan Umat Islam terhadap bangkitnya komunisme, muncul selalu serangan terhadap Soeharto dan keluarganya. Serangan ini seolah menjadi upaya pengalihan dari isu kebangkitan PKI.
Mereka ingin membuat kesan bahwa pemberontakan PKI itu rekayasa Soeharto. Ada upaya kerja keras pihak-pihak tertentu untuk mengaburkan sejarah pemberontakan PKI dengan menjadikan Soeharto sebagai obyek sasaran dan serangan. Diulang-ulang terus dengan konsisten dan sistematis.
Kerja keras untuk membangun stigma negatif dan tuduhan terhadap Soeharto terkait sejarah pemberontakan PKI pada kenyataannya selalu gagal. Apapun kemasan isu dan narasinya, fakta sejarah PKI tak bisa dirubah. Rakyat selalu menjaga agar sejarah bangsa ini, termasuk di dalamnya adalah pemberontakan PKI, tidak dilupakan. Upaya untuk menghapus sejarah ini, termasuk pelarangan menayangkan film G 30 S PKI, juga menghapus sejarahnya dari kurikulum sekolah selalu mendapat perlawanan masif, baik dari TNI maupun rakyat. Terutama umat Islam.
Lucunya, kelompok yang selalu menjaga Pancasila dari rongrongan kebangkitan PKI justru dituduh anti Pancasila. Dan keluarga cendana dianggap berada di belakangnya. Stigma dan tuduhan ini tentu sangat tidak masuk akal. Jelas mengada-ada. Sampai disini, rakyat bisa menilai siapa yang sesungguhnya anti Pancasila.
Soeharto sudah lewat. Lepas kelebihan dan kekurangannya, beliau adalah bapak bangsa. Sebagaimana juga presiden sebelum dan sesudahnya. Tak layak dijadikan obyek untuk mengalihkan isu kebangkitan PKI yang sedang marak akhir-akhir ini. Yang pasti, rakyat sudah mulai menyadari modus ini. (*)
Jakarta, 23 September 2020