GELORA.CO - Pejabat Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat kaget ketika mendengar Menteri Pertahanan Prabowo Subianto berniat latihan gabungan dengan militer China. Wacana itu disebutkan Prabowo bertemu Menhan China Wei Fenghe pada pekan lalu.
Berdasarkan laporan Xinhua, menhan kedua negara setuju untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan. Prabowo juga sempat menyinggung latihan gabungan militer.
"Militer Indonesia berminat untuk memperkuat kerja sama dengan pihak China pada bidang-bidang seperti pertukaran kunjungan, latihan gabungan, dan perlengkapan teknologi untuk mempromosikan pengembangan hubungan yang berkelanjutan antara dua angkatan bersenjata," ujar Menhan Prabowo seperti dikutip media China.
Pejabat tinggi Kemlu AS terkejut dan mengaku belum mendengar kabar tersebut.
"Saya belum mendengar mengenai percakapan itu," ujar David R. Stilwell, Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Biro Asia Timur dan Asia Pasifik dalam telekonferensi Selasa (15/9/2020).
Stilwell berkata tidak keberatan apabila kerja sama militer antara Indonesia dan China bisa mendukung perdamaian. Namun, ia mengingatkan China punya track record yang buruk perihal menghormati kedaulatan negara lain.
"Jika kerja sama itu membawa stabilitas dan hasil positif dan menghargai kedaulatan mitra-mitra ASEAN, maka kita tak keberatan. Tetapi track record (China) tidak bagus. Ada banyak contohnya," ucap Stilwell.
Dua contoh yang disebut Stilwell adalah kelakuan "bullying" China di Laut China Selatan dan Vietnam.
Stilwell juga menyinggung retorika ASEAN yang mengaku ingin netral dalam isu AS-China. Ia berkata justru China yang kerap meminta keberpihakan ke negara-negara ASEAN.
"Kami sering mendengar dari sahabat-sahabat ASEAN tentang keinginan agar mereka tak dibuat memilih (antara AS dan China), dan saya pikir AS tak pernah memaksa pilihan," ujar Stilwell.
Pakar Geopolitik: ASEAN Harus Kompak Saat Nego dengan China
Negara-negara Asia semakin dominan di kancah internasional, terutama dalam hal ekonomi. China kini menjadi pesaing Amerika Serikat dalam perdagangan, selain itu Asia Tenggara (ASEAN) juga semakin eksis.
Hubungan antara China dan ASEAN sangat erat di bidang ekonomi, namun ada masalah-masalah geopolitik yang dihadapi kedua negara. Salah satu isu yang sensitif adalah Laut China Selatan.
Dr. Ha Anh Tuan dari Diplomatic Academy of Vietnam (DAV) berkata negara-negara ASEAN harus makin bersatu untuk berhadapan dengan China. Suara ASEAN yang kompak bakal menghasilkan relasi yang lebih substansial dan komprehensif dengan China.
"Saya percaya bahwa tanpa suara yang kuat dan posisi bersatu, sangatlah sulit untuk ASEAN agar mendapat kesepakatan dan kerja sama substansial dengan China," ujar Dr. Ha Anh Tuan dalam diskusi bersama Foreign Policy Community of Indonesia, Jumat 3 September 2020.
Negara-negara ASEAN disarankan agar mengidentifikasi kepentingan bersama agar makin kompak dalam menghadapi China dalam isu regional.
"Tanpa kepentingan bersama, tanpa kemauan politik bersama dari semua negara-negara ASEAN, kerja sama antara ASEAN saja sudah sulit, apalagi dalam kerja sama ASEAN-China," jelasnya.
Sementara itu, menurut Dr. Jayant Menon yang merupakan Visiting Senior Fellow di Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS-Yusof Ishak Institute), ASEAN yang lebih kompak memang bisa menyelesaikan isu dengan lebih baik dengan China ketimbang jika anggota ASEAN bergerak sendiri.
Meski demikian, Dr. Jayant Menon mengakui bahwa negara-negara ASEAN sulit menemukan pijakan bersama karena tiap negara punya kepentingan berbeda dengan China.
"Di dalam ASEAN sulit untuk mengambil posisi bersama karena kepentingan berbeda. Jadi bolanya ada di China," jelas Dr. Menon.
Ia juga mengingatkan agar ASEAN tidak seperti Uni Eropa yang menurutnya terlalu sentralistis dan akibatnya mulai goyah.
"ASEAN tidak seperti itu, dan itulah mengapa ia bisa bertahan. ASEAN memilik sistem yang banyak berdasarkan konsensus. Kamu hanya bisa bergerak secepat yang bisa dilakukan anggota yang terlemah," ujar Dr. Menon. []