GELORA.CO - Panggung politik selalu "semarak" dengan "drama" konflik dan koalisi. Begitu pun dengan yang terjadi di Malaysia.
Di negeri jiran, terlepas dari situsi dan dinamika politik yang sedang hangat terjadi saat ini, ada dua nama tokoh yang kerap menjadi ikon politik dan buah bibir di publik Malaysia, yakni Anwar Ibrahim dan Mahathir Mohamad.
Hubungan kedua tokoh politik itu tidak ubahnya air laut yang pasang-surut. Terkadang bisa menjadi koalisi yang solid, namun tidak jarang juga bersikap bersebrangan, bahkan "menikam".
"Sejarah membuktikan, konflik dan koalisi merupakan hal biasa terjadi dalam perpolitikan di Malaysia," kata Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional, Dr. Sudarnoto Abdul Hakim yang juga memiliki perhtian khusus pada isu politik di Malaysia, dalam diskusi mingguan RMOL World View yang diselenggarakan oleh Kantor Berita Politik RMOL.ID bertajuk "Rebutan Kursi Perdana Menteri Malaysia" (Senin, 28/9).
Dia menjelaskan bahwa hubungan antara Mahathir dan Anwar telah terjalin lama, bahkan sejak beberapa dekade terakhir.
"Saya highlight sejak pertama kali Mahathir menjadi perdana menteri Malaysia pada tahun 1981," ujar Sudarnoto.
Dia menjelaskan bahwa pada saat itu, Anwar merupakan Presiden ABIM atau Angkatan Belia Islam Malaysia. Meski merupakan organisasi pemuda, namun ABIM memiliki intensitas terhadap politik yang tinggi. Pasalnya, pada tahun 1970an hingga 1980an, Anwar bersama rekan-rekannya sangat kritis terhadap pemerintahan, sebelum akhirnya Mahathir terpilih menjadi perdana menteri Malaysia.
"Mahathir sudah kenal dengan Anwar sebagai aktivis yang luar biasa. Maka dia merekrut Anwar untuk masuk ke (partai) UMNO (United Malays National Organisation), dia pun bersedia," jelas Sudarnoto.
Meski begitu, masuknya Anwar ke dalam UMNO bukan tanpa kritik dari rekan-rekan sesama aktivis di ABIM. Anwar pun tetap maju dengan keputusannya.
"Karir politik Anwar Ibrahim kemudian cepat sekali. Sampai kemudian dia menjadi wakil perdana menteri-nya Mahathir (tahun 1993-1998). Dia sangat populer. Popularitasnya bukan hanya karena leadership-nya yang efektif, tapi juga narasi-narasinya yang didengar bahkan dalam ranah internasional," papar Sudarnoto.
Namun Anwar Ibrahim bukanlah sosok yang mudah lepas dari prinsip dan semangat yang dia jaga. Meski duduk di kursi pemerintahan, dia tetap menjadi sosok yang tidak segan melontarkan kritik internal.
"Anwar tidak berhenti mengkritik. Dia pernah ingatkan Mahathir soal anaknya yang terlibat isu kolusi, korupsi dan nepotisme Petronas," ujar Sudarnoto.
Kemudian, hubungan Anwar dan Mahathir semakin jauh dari kata harmonis ketika krisis ekonomi terjadi pada tahun 1997.
"Krisis ekonomi ini juga melanda Malaysia. Anwar usulkan skema IMF untuk economic recovery. Namun Mahathir tidak mau terlibat dengan IMF dengan alasan nasionalisme," jelasnya.
Perselisihan pendapat dan cara pandang yang berbeda dari kedua tokoh tersebut memiliki akar yang kuat.
Mahathir memang dikenal sebagai seorang nasionalis yang luar biasa, bahkan terkesan bahwa nasionalisme Mahathir berlebihan," kata Sudarnoto yang juga merupakan Associate Professor FAH UIN Jakarta.
"Sedangkan Anwar lebih terbuka dan bisa menerima gagasan dari siapa saja," sambungnya.
Karena itulah, Mahathir menolak skema IMF yang diusulkan oleh Anwar dan terjadilah pertentangan konflik pertama kali antara Mahathir dan Anwar.
Buntutnya, Anwar pun dipecat dari jabatannya secara tidak hormat pada tahun 1998 dan dijebloskan ke penjara karena tuduhan melakukan tindakan yang tidak senonoh (sodomi). Sejumlah pengamat menilai, tuduhan sodomi itu kental bernuansa politis. Terlebih, tuduhan itu muncul tidak lama setelah Anwar berselisih dengan Mahathir.
"Kemudian pikiran-pikiran revormis Anwar dilanjutkan oleh partai yang dia dirikan, Partai Keadilan Rakyat (PKR) dan dipimpin oleh istrinya. Partai tersebut kemudian berkembang menjadi kekuatan oposisi," papar Sudarnoto.
Hingga kemudian waktu berlalu dan politik selalu penuh dengan kejutan. Pada Tahun 2018, Mahathir kembali bersekutu dengan Anwar dalam pemilu Malaysia.
Pada saat itu, Mahathir tidak lagi berada di bawah bendera UMNO, melainkan mendirikan partai sendiri, yakni Pakatan Harapan. Meski usianya mendekati satu abad, Mahathir pada saat itu memilih untuk kembali ke panggung politik Malaysia, terutama karena kekecewaannya yang mendalam pada petahana Najib Razak dari UMNO yang tersandung kasus mega korupsi 1MDB.
"Mahathir kecewa karena di masa Najib, suara bagi UMNO merosot. Kemudian Najib terlibat skandal 1 MDB, sehingga terjadi kemarahan," ujar Sudarnoto.
"Mahathir pun membentuk partai baru dan membuat perlawanan terhadap Najib dalam pemilu 2018 dengan menggandeng Anwar yang punya basis masa yang kuat," terangnya.
Pada saat itu Mahathir berjanji bahwa jika terpilih, dia tidak akan berlama-lama duduk di kursi perdana menteri dan akan memberi jalan kepada Anwar untuk bisa menggantikannya.
"Tapi kemudian setelah terpilih, janji tidak ditepati oleh Mahathir dengan berbagai alasan dan Anwar pun merasa dikhianati," tuturnya.
Sudarnoto menjelaskan bahwa Mahathir dan Anwar merupakan dua tokoh hebat dengan karakter dan pandangan yang berbeda.
"Mahathir dan Anwar pada dasarnya memang berbeda. Pikiran-pikirannya berbeda, pandangan soal ekonomi berbeda, latar belakangnya pun berbeda," ujar Sudarnoto.
"Tapi mereka tahu bahwa masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan. Maka di momen-momen tertentu, mereka meanfaatkannya," jelasnya.
Keengganan Mahathir untuk menepati janji dan membuka jalan bagi Anwar untuk duduk di kursi perdana menteri Malaysia pun memicu gejolak politik yang berujung pada pengunduran diri Mahathir Februari lalu.
Namun secara tidak terduga, di situasi tersebut, muncul Muhyiddin Yassin yang berhasil "menerobos" masuk lewat strategi politik pintu belakang hingga sampai berhasil duduk di kursi perdana menteri.
Mahathir pun terkejut dan merasa dikhianati oleh Muhyiddin yang juga pernah bersekutu dengannya.
Kini, kepempimpinan Muhyiddin yang baru seumur jagung mendapatkan tantangan dari Anwar yang pekan lalu muncul ke hadapan publik dengan klaim bahwa dia bisa mengumpulkan suara mayoritas di parlemen dan membentuk pemerintahan baru. Situasi politik ini pun masih terus berkembang di Malaysia hingga saat ini.
"Politik itu cermin untuk berbagi segala kemungkinan. Kemungkinan untuk dikhianati atau mengkhianati, atau juga kemungkinan baik-baik saja. Mereka semua yang terlibat di dalamnya pasti sudah bersiap dengan hal itu," demikian Sudarnoto. (Rmol)