GELORA.CO - Kerugian PT Pertamina (Persero) yang pada Semester I 2020 sebesar 767,92 juta dolar AS atau sekitar Rp 11,33 triliun (kurs Rp 14.766), merupakan suatu kemunduran.
Jika dibanding periode yang sama tahun lalu perolehan Pertamina anjlok sangat. Karena di Semester I tahun lalu keuntungannya bisa mencapai US$ 659,96 juta atau setara Rp 9,7 triliun.
Pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR pada 26 Agustus lalu, Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini mengatakan ada tiga faktor utama penyebab kerugian Pertamina.
Pertama, turunnya harga minyak dunia yang mengacu pada kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, sehingga sektor hulu Pertamina merugi.
Kedua, permintaan BBM yang menurun akibat pandemik virus corona baru (Covid-19), sehingga menyebabkan sektor hilir merugi.
Kemudian untuk faktor terakhir adalah turunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang serta merta berdampak pada tambahan beban keuangan negara, karena fundamental pembukuan Pertamina berdasarkan mata uang internasional (dolar AS).
Namun menurut Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara, pangkal persoalan buntungnya Pertamina bukan lah mengenai faktor global tersebut. Melainkan pada kebijakan pemerintah yang melanggar konstitusi, aturan perundang-undangan dan juga prinsip good corporate governance (GCG).
"Kita paham bahwa ketiga faktor di atas menjadi sebab ruginya Pertamina. Namun bukan hanya ketiga faktor tersebut yang menjadi penyebab kerugian. Publik harus paham, ada penyebab kerugian lain, yang semuanya berpangkal pada kebijakan pemerintah yang melanggar konstitusi, aturan dan prinsip good corporate governance (GCG)," ujar Marwan kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (3/9).
Pangkal persoalan dari meruginya perusahaan minyak plat merah itu dirangkum oleh Marwan ke dalam 5 poin. Pertama, soal beban Pertamina yang harus membayar signature bonus (SB) Blok Rokan sebesar 784 juta dolar AS (sekitar Rp 11,3 triliun). Padahal sesuai Pasal 33 UUD 1945, mengelola Blok Rokan hak mandatory Pertamina.
"Hal yang lebih runyam, meskipun baru mengoperasikan Rokan Agustus 2021, Pertamina harus membayar SB pada 2018/2019. Untuk itu Pertamina harus menerbitkan surat utang. Seharusnya cadangan blok Rokan diperhitungkan sebagai penyertaan modal negara (PMN), tanpa SB, dan berlaku sejak pengelolaan dimulai Pertamina Agustus 2021," jelasnya.
Kemudian yang kedua, Pertamina harus membeli minyak mentah (crude) domestik dengan harga Indonesia Crude Price (ICP), yang asumsinya lebih mahal sekitar 8 dolar AS per barel (di blok Banyu Urip), dan 11 dolar AS per barel (di blok Duri), dibanding ICP crude jenis lain.
Hal ini, kata Marwan, terlihat pada Kepmen ESDM No.79.K/2020 tanggal 1 April 2020. Kepmen ini berlaku untuk ICP Maret 2020. Untuk bulan-bulan lain, antara Januari-Juni 2020, diperkirakan “anomali” atau berarti perbedaan harga masih sama.
"Rerata produksi lapangan Banyu Urip sekitar 210.000 barel per hari (bph), sedang lapangan Duri sekitar 170.000 bph. Jika seluruh produksi minyak kedua lapangan dibeli Pertamina, maka nilai 'kemahalan' yang harus dibayar Pertamina US$ 302,4 juta, untuk Duri 336,6 juta dolar AS. Sehingga nilai 'keabnormalan' harga yang harus dibayar Pertamina 639 juta dolar AS atau sekitar Rp 9,25 triliun," bebernya.
"Nilai kemahalan atau kerugian Pertamina di atas dihitung atas dasar 100 persen produksi Banyu Urip dan Duri dibeli oleh Pertamina. Jika diasumsikan biaya cost recovery ditambah nilai bagi hasil (split) rata-rata kontraktor adalah 35 persen total produksi, maka 35 persen dari nilai kemahalan tersebut (Rp 3,24 triliun) malah dinikmati oleh asing Chevron (Duri) dan Exxon (Banyu Urip)," sambungnya.
Pangkal persoalan ketiga yang disebutkan Marwan ialah beban pencitraan politik Pilpres 2019 yang harus ditanggung Pertamina. Hal itu terlihat dari beban perusahaan yang harus terlebih dahulu menanggung biaya subsidi BBM dan LPG sejak April 2017 silam.
"Menurut Dirkeu Pertamina Emma Sri Martini pada RDPU Komisi VII DPR, akumulasi tanggungan Pertamina tersebut adalah Rp 96,5 triliun kompensasi dan Rp 13 triliun subsidi. Sehingga total beban kebijakan populis tersebut adalah Rp 109,5 triliun," papar Marwan.
"Utang pemerintah ini memang kelak akan dibayar, tapi jadwalnya tak jelas, terutama karena besarnya defisit APBN akibat corona. Jika tak segera dilunasi, Pertamina justru terancam gagal bayar atau default," tambahnya.
Karena utang pemerintah ke Pertamina yang sebesar Rp 109,5 triliun tak dilunasi, Marwan mengatakan Pertamina harus menerbitkan surat utang.
Beban surat utang Pertamina sejak 2011, katanya, mencapai 12,5 miliar dolar AS. Khusus untuk 2018-2020, akibat menanggung akumulasi utang pemerintah yang Rp 109,5 triliun di atas, Pertamina setiap tahun harus menerbitkan surat utang sebesar 750 juta dolar AS(2018), 1,5 miliar dolar AS (2019) dan 3 miliar dolar AS (2020), pada tingkat bunga (kupon) yang berbeda-beda antara 3,65 persen hingga 6,5 persen.
"Total tambahan surat utang Pertamina 2018 hingga 2020 adalah 5,25 miliar dolar AS. Artinya, dihitung sejak penerbitan surat utang 2018 dan tingkat kupon masing-masing, maka beban bunga (cost of money) yang ditanggung Pertamina akibat kebijakan populis Pilpres 2019 yang menjadikan Pertamina sapi perah adalah sekitar 210 juta dolar AS atau sekitar Rp 3 triliun," ungkapnya.
Selain ketiga faktor tersebut, pangkal masalah keempat yang ditanggung Pertamina adalah beban kebijakan lain berupa public service obligation (PSO) atau BBM satu harga, PSO over quota LPG 3kg, pembangunan rumah sakit untuk Covid-19, dan akuisisi perusahaan Maurel & Prom Prancis yang diperkirakan bernuansa moral hazard.
"Sesuai UU BUMN No.19/2003 beban PSO harus ditanggung APBN. Keseluruhan beban kebijakan tersebut dapat mencapai triliunan rupiah juga. Hanya dari 3 kebijakan pemerintah yang diurai di atas yaitu pertama beban keuangan SB Rokan Rp 11,3 triliun, kedua membeli crude domestic Rp 9,25 triliun, dan ketiga biaya bunga akibat kebijakan populis Pilpres 2019 Rp 3 tiriliun, Pertamina harus menanggung beban keuangan sekitar Rp 23,55 triliun," tandas Marwan.
"Artinya, jika kebijakan sesuai konstitusi, tidak melanggar aturan dan GCG, maka Pertamina masih untung sekitar Rp 23,55 triliun dikurang Rp 11,3 triliun sama dengan Rp 12,25 triliun," lanjutnya.
Bahkan, di pangkal persoalan yang kelima Marwan menyebut penunjukan penunjukan Basuki Tjahja Purnama alias Ahok sebagai Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) adlaah salah satu yang melanggar aturan.
"Terkait posisi Ahok sebagai Komut yang masih dihujat publik, masalahnya sama, yaitu pemerintah mengangkat Ahok tanpa peduli aturan dan GCG. Ahok diangkat menjadi Komut dengan melanggar sejumlah ketentuan dalam UU BUMN No.19/2003, Permen BUMN No.02/MBU/02/2015 tentang Persyaratan Pengangkatan Komisaris BUMN, dan Permen BUMN No.01/2011 tentang Penerapan GCG," sebut Marwan.
Karena itu, seperti juga sikap publik, IRESS bersikukuh pada sikap semula, Ahok harus segera dilengserkan dari posisi Komut Pertamina," demikian ditekankan. (Rmol)