Lawan Oligarki, Muhammadiyah Ditantang Jadi Oligarki Jinak

Lawan Oligarki, Muhammadiyah Ditantang Jadi Oligarki Jinak

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Oligarki yang dinilai berada di pemerintahan Presiden Joko Widodo turut memperlemah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejumlah alternatif ditawarkan untuk melawan oligarki, termasuk dengan merintis oligarki jinak dan membuat kontrak politik dengan calon presiden.

Hal ini mengemuka dalam pandangan dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar. Ia berbicara di dikusi daring ‘Refleksi 1 Tahun Revisi UU KPK’ gelaran Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi UGM, Senin (21/9).

“Oligarki itu mempertahankan kekayaan dengan menggunakan kewenangan negara, maka kalau kewenangan negara dikurangi biasanya memperkecil ruang permainan kaum oligarki. Cara lainnya melawan oligarki dengan membuat kesetaraan,” kata dia.

Untuk itu, saat ini perlu menggalang gerakan untuk mengecilkan peran negara dan meninggikan masyarakat sipil. “Bagaimana mengagregasi oligarki jinak yang mau menyumbang untuk negara dan membiayai proses perlawanan, tapi tanpa harus membeli negara,” ujarnya.

Zainal belum tahu model oligarki jinak ini ada di Indonesia. “Saya berharap Muhammadiyah sebenarnya bisa melahirkan gerakan ini karena punya basis ekonomi yang kuat, basis pemikiran yang mapan, dan basis kesejahteraan yang mumpuni,” ucap mantan Direktur Pukat UGM ini.

Zainal menjelaskan upaya lain untuk lepas dari jebakan oligarkis dengan membuat tawaran dengan kandidat presiden 2024. “Kandidat presiden akan panasi mesinnya mulai 2022. Ada banyak peluang untuk menawar mereka supaya ikuti agenda publik. Agenda 2024 bisa mengubah konstelasi,” ujarnya.

Dengan lemahnya KPK, Zainal juga mempertimbangkan untuk memulai pemberantasan KPK tanpa memasukkan KPK sebagai faktor penting. “Pendekatan institusi tetap kita pakai, tapi bukan satu-satunya cara. Mungkin kita terjebak terlalu percaya pada KPK,” ujarnya.

Menurutnya, masyarakat sipil dulu menaruh harapan terlalu besar pada KPK. “Kita mencoba membentengi KPK, ternyata KPK sendiri rapuh. Begitu KPK beralih, kita mengalami kebingungan,” katanya.

Dia mengusulkan, saatnya membangun gerakan di luar KPK, seperti gerakan perempuan, kampus, dan gerakan integritas, yang dibangun dari bawah.

“Bukan pendekatan institusional, tapi rational choice (pilihan rasional). Orang yang melakukan tindakan anti-korupsi, dia mendapat keuntungan, sehingga secara rasional ikut dalam pemberantasan korupsi,” ujarnya.

Di forum ini, sebelumnya komisioner KPK 2011-2014 sekaligus Ketua Bidang Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Busyro Muqoddas, menyatakan pelemahan KPK saat ini tak lepas dari meningkatnya praktik oligarki bisnis dan politik di pemerintahan Jokowi.

"Birokrasi telah dikuasai korporasi, baik di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ini produk wajar dari demokrasi transaksional di tiap pemilu dan pilkada,” ujarnya.

Adapun Direktur Pukat UGM Oce Madril mengingatkan lagi revisi UU KPK setahun lalu adalah bagian dari strategi pelumpuhan KPK. “Pemerintah saat itu seperti kejar target mengesahkan revisi UU KPK dalam beberapa hari,” ujarnya.

Revisi UU itu kemudian memunculkan banyak protes seperti tajuk Reformasi Dikorupsi dan aksi Gejayan Memanggil di Yogyakarta. “Poin-poin UU itu sebagian besar melucuti kewenangan KPK. Ini kemudian memunculkan penolakan besar-besaran,” kata dia. [gatra]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita