GELORA.CO - Kesepakatan gencatan senjata antara Turki dan Rusia dalam keterlibatannya di Perang Saudara Kedua Libya, dinilai positif oleh Pemerintah Kesepakatan Nasional Libya (GNA). Akan tetapi, di sisi lain sejumlah negara justru was-was seiring hubungan Turki dan Rusia yang semakin mesra.
Dalam berita VIVA Militer sebelumnya, Turki dan Rusia akhirnya sepakat untuk melakukan gencatan senjata di seluruh wilayah Libya. Kabar itu bahkan diinformasikan langsung oleh Kementerian Luar Negeri Rusia.
Perdamaian antara Turki dan Rusia di front Libya, jadi bukti lainnya yang menunjukkan hubungan kedua negara yang makin harmonis. VIVA Militer melaporkan juga dalam berita 26 Agustus 2020, Turki dan Rusia secara resmi membentuk koalisi perlawanan terhadap agresi Israel di Suriah.
Bukan cuma itu, Rusia juga muncul saat Turki ditangguhkan posisinya dalam program jet tempur F-35 Lightning II oleh Amerika Serikat (AS). AS mengambil tindakan ini akibat Turki membeli rudal sistem pertahanan Udara S-400 Triumf dari Rusia.
Dalam laporan Defense News yang dikutip VIVA Militer, AS tak mau rahasia yang ada dalam jet tempur super canggihnya itu diketahui Rusia.
Sementara, hampir seluruh kekuatan tempur udara militer Turki adalah pesawat tempur F-16 Fighting Falcon, yang juga buatan Amerika. Dengan tegas, AS menyatakan tak bersedia melihat pesawat buatannya duduk berdampingan dengan senjata milik Rusia di Turki.
Rusia pun langsung bergerak menawarkan jet tempur canggih buatannya, Sukhoi Su-57. Dalam laporan yang dikutip VIVA Militer dari Eurasian Times, Turki dapat penawaran langsung dari Rostec, perusahaan industri teknologi tinggi untuk sektor pertahanan Rusia.
"F-35 tidak bisa hidup berdampingan dengan platforn pengumpulan data intelijen Rusia, yang akan digunakan untuk mempelajari kemampuannya yang canggih," ujar juru bicara Gedung Putih Stephanie Grisham.
Bukan cuma AS yang berang dengan keputusan Erdogan membeli rudal sistem pertahanan udara S-400. Sejumlah negara yang tergabung dalam Pakta Atlantik Utara (NATO), juga geram. Sejumlah pengamat militer bahkan memprediksi jika Turki terancam didepak dari posisinya sebagai salah satu anggota NATO.
"Pembelian S-400 Rusia oleh Turki tidak bisa diterima dan merusak misi NATO untuk mencegah agresi Rusia. Pemerintah harus memberlakukan sanksi yang diwajibkan oleh hukum, dalam menyikapi pembelian ini," kata Anggota Kongres AS dari Partai Republik, Michael McCaul, dikutip VIVA Militer dari CNN.
"Turki harus membalikkan arah setelah tindakan destabilisasi ini, untuk memperbarui kepercayaan Amerika Serikat, dalam hubungan pertahanan kami," ucapnya.
Campur tangan Rusia juga diprediksi akan terlihat di Laut Mediterania Timur, menyusul konflik antara Turki dan Yunani yang semakin memanas. Yunani yang didukung penuh oleh sejumlah negara Uni Eropa (UE), semakin membuat Turki terdesak.
Turki terancam dikeroyok oleh negara-negara Uni Eropa. Buktinya, Prancis di bawah komando Presiden Emmanuel Macron, sudah mengerahkan kapal induk bertenaga nuklirnya untuk membantu Yunani melawan Turki. Kapal induk Charles de Gaulle bahkan berangkat ke Laut Mediterania Timur dengan status siaga perang.
Tak cuma Prancis, Siprus juga sudah mengerahkan sejumlah jet tempurnya ke Laut Mediterania sebagai dukungan terhadap negara tetangganya.
Di sisi lain, Erdogan tetap bersikeras mempertahankan kedaulatan negaranya. Eksplorasi minya dan gas di Laut Aegea dengan kapal riset Oruc Reis yang dianggap jadi penyebab sengketa, dinilai Erdogan adalah hal yang sewajarnya. Sebab wilayah perairan itu dipandangnya masih berada dalam teritorial Turki. (*)