GELORA.CO - Banyak cara untuk mengenang jasa pahlawan. Salah satunya dengan mengunjungi tempat bersejarah seperti ke Museum Sasmita Loka Pahlawan Revolusi Jenderal Ahmad Yani, yang terletak di jalan Lembang dan jalan Latuharhari, Menteng Jakarta Pusat.
(Baca juga: Kisah Gubernur Jatim dan Dua Perwira Polisi yang Dibantai PKI di Hutan Belantara)
Okezone pun kembali mengulas Museum Sasmitaloka yang dulunya merupakan kediaman Jenderal Ahmad Yani. Dia gugur akibat dalam peristiwa berdarah G30SPKI.
Museum tersebut juga banyak tersimpan memorabilia Jenderal Ahmad Yani. Seperti sebuah bufet kaca lainnya yang berisi beberapa pucuk senjata api, serta dua pakaian milik Jenderal Yani. Satunya kemeja putih, satunya lagi piyama Jenderal Yani.
Empat pucuk senjata api yang dipakai gerombolan (oknum) Pasukan Tjakrabirawa saat menyatroni rumah Jenderal Yani pada 1 Oktober 1965. Yakni, dua senapan submesin Owen Gun dan M3 “Grease Gun”, sepucuk senapan laras panjang serta senapan mesin ringan VZ.52.
Di dalam kamar terdapat satu tempat tidur berukuran “queen size”, dua lemari pakaian berisi jas-jas sipil dan militer serta beragam sepatu, beberapa bufet, dan satu lemari kaca tempat beberapa tanda jasa hingga keris disimpan.
Semua benda-benda tersebut berada di kamar Ahmad Yani. Namun ada larangan ketika pengunjung memasuki kamar pahlawan revolusi tersebut. Yaitu dilarang mengambil foto.
“Biasanya kita kasih tahu, mas. Bahwa kalau berkunjung, ya jangan memfoto kamar Bapak (alm Jenderal Yani). Kalau nekat ya tanggung sendiri akibatnya,” ujar Serma Wawan Sutrisno, salah satu penjaga museum, kepada Okezone beberapa waktu lalu.
Masih banyak benda yang tersimpan rapi disana. Di dalam lemari kaca itu juga terdapat sejumlah lembar rupiah era lama yang ternyata jumlahnya merupakan gaji bulanan Jenderal Yani kala itu. “Jumlahnya ada Rp123 ribu gajinya Bapak,” sambung Wawan.
Sementara di sisi kepala tempat tidur juga sejumlah catatan dan buku harian Jenderal Yani. Hal yang menarik, di salah satu sudut antara tembok dan eternit kamar terdapat gambar halilintar yang menyambar.
“Itu seminggu sebelum Pak Yani diangkat jadi Menpangad (Menteri/Panglima Angkatan Darat pada 1964), ada petir menyambar ke rumah. Dulu ada bekasnya, tapi sekarang cuma dicat begitu sebagai penanda saja. Dulu itu sampai jebol itu genting rumah,” ujar Wawan.
Namun sekali lagi, Wawan menegaskan untuk tidak merekam atau mengambil foto di kamar Jenderal Yani. Begini alasannya.
“Sebenarnya ini masalah privasi lho, mas. Ini kan dulu kamar tidurnya Bapak (Jenderal Yani), ya pribadi sekali sifatnya. Ini yang kita tekankan ke pengunjung karena sebenarnya kita enggak mau mengungkit soal sisi mistisnya,” terangnya.
“Karena memang ada saja yang nekat foto-foto di kamar Bapak. Ya kalau nekat silakan, tanggung sendiri akibatnya. Kejadian ya ada saja. Seperti beberapa waktu lalu, ada satu pengunjung yang nekat foto, besoknya jatuh sakit. Tiga bulan enggak sembuh-sembuh, pas datang ke sini lagi baru sembuh,” ungkap Wawan.
Namun jangan menyangka dulu bahwa “ruh” Jenderal Yani yang menyebabkan begitu. Tidak. Wawan menjelaskan bahwa nuansa mistis di sana sudah tercipta lama karena ada oknum penjaga museum yang dulu, sering menebar melati dan menyediakan sesajen.
“Justru kita, penjaga-penjaga museum yang sekarang yang coba menghilangkan itu. Kita enggak ingin museum itu image-nya angker. Kalau memang enggak aneh-aneh, benar-benar ingin belajar sejarah, ya enggak akan apa-apa,” tandasnya.[]