GELORA.CO - Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ke-4, Mayor Jenderal TNI (Purn) Bambang Utoyo ternyata pernah hampir tewas ditembak anak buahnya karena dianggap sebagai penghianat karena berpihak kepada Belanda ketika menjadi Panglima Divisi Garuda II di Sumatera Selatan.
Sebagai pemimpin pasukan Divisi Garuda II, Bambang Utoyo kerap kali berbenturan dengan Belanda yang sudah masuk ke kota Palembang pasca runtuhnya kekuatan Jepang pada Perang Dunia II melawan Amerika Serikat (AS) dan sekutunya.
Indonesia menjadi salah satu target Inggris dan Belanda pasca Jepang memilih mundur karena bom atom Hiroshima dan Nagasaki yang meluluhlantakan Jepang pada tahun 1945.
Inggris dan sekutunya mulai masuk ke Indonesia, khususnya melakukan pendaratan di Palembang pada tanggal 12 Oktober 1945 dipimpin oleh Letkol Carmichael. Mereka membangun kekuatan hingga membentuk Badan Administrasi Sipil Belanda. Jumlah pasukan tentara sekutu dan Belanda pun semakin lama terus bertambah di Indonesia.
Dalam literatur sejarah TNI AD yang dikutip VIVA Militer, di Palembang saja saat itu jumlah pasukan tentara sekutu Inggris dan belanda sudah mencapai 2 batalyon. Sampai pada akhirnya, tentara sekutu Inggris meninggalkan Sumatera Selatan pada tanggal 24 Oktober 1946 dan wilayah yang dikuasainya diserahkan kepada Belanda.
Sebagai Panglima Divisi Garuda II Sumatera Selatan, Bambang Utoyo yang saat itu masih berpangkat Kolonel tidak tinggal diam melihat perkembangan Belanda dan sekutu Inggris di Bumi Sriwijaya itu. Dia paham betul kenapa tentara sekutu Inggris dan Belanda berusaha menguasai Sumatera Selatan, khususnya Palembang.
Inggris dan Belanda melihat Palembang sebagai salah satu titik strategis jika ingin menaklukkan Indonesia. Sebab, Sumatera Selatan, khususnya Palembang merupakan salah satu daerah yang dapat dibilang sebagai urat nadi perekonomian Pemerintah Pusat saat itu, karena di situ memiliki sumber daya ekonomi yang tinggi sebagai daerah penghasil minyak bumi.
Di satu sisi, dari segi militer, pasukan TRI dan laskar-laskar yang berada di Sumatera Selatan ketika itu tergolong memiliki persenjataan yang lumayan lengkap jika dibandingkan dari wilayah Sumatera lainnya. Sehingga mereka berfikir kalau mereka berhasil menduduki Palembang, umumnya Sumatera Selatan, maka wilayah lain akan mudah dikuasai.
Bambang Utoyo sebagai pemimpin Komando Divisi Garuda II memiliki tugas besar sejak saat itu. Memimpin pasukan yang terdiri dari berbagai elemen tidak lah mudah. Untuk diketahui, pasukan yang berada dibawah komando Divisi Garuda II terdiri dari Polisi Tentara, Angkatan Laut, Kepolisian, Laskar BPRI, Laskar Hisbullah, Laskar Napindo, Laskar Pesindo, Pasukan Angkatan Muda Sriwijaya, hingga Pasukan Elang Hitam.
Dikutip VIVA Militer dari buku yang berjudul 'Bambang Utoyo Jiwa Ragaku untuk Negeri tercinta', di masa itu terjadi sebuah peristiwa yang sangat bersejarah yang dikenal dengan Perang Lima Hari Lima Malam antara pasukan Bambang Utoyo dengan kolonial Belanda.
Perang bermula karena Belanda telah melanggar garis demarkasi yang telah ditentukan sebelumnya, pada tanggal 28 Desember 1946 seorang laskar dari Napindo yang bernama Duntjik tewas ditembak Belanda ketika melintasi Benteng tentara Belanda. Insiden penembakan Duntjik telah menyulut amarah para pejuang kemerdekaan ketika itu.
Prajurit TRI dan laskar-laskar pun menyerbu benteng Belanda hingga terjadi pertempuran panjang selama 13 jam hingga 29 Desember 1946 tanpa henti. Pertempuran baru berakhir setelah ada perintah penghentian tembak menembak dari Panglima Divisi Garuda II, Kolonel Bambang Utoyo.
Pertempuran berhenti tidak lama, keesokan harinya Belanda kembali berulah menembaki pasukan pejuang Indonesia. Para laskar pun kembali angkat senjata. Belanda semakin tersudut karena pertempuran terjadi hingga tanggal 4 Januari 1947.
Pertempuran yang terjadi selama lima hari lima malam itu telah membuat Belanda merubah strategi. Dia meminta untuk berunding dengan Pemerintah Pusat ketika itu. Pada akhirnya, Presiden Soekarno pun mengutus A.K.Gani untuk bersama Gubernur Sumatera Selatan Dr.M.Isa mendatangi Panglima Komando Divisi Garuda II, Kolonel Bambang Utoyo.
Rapat pun digelar di Palembang pada tanggal 4 Januari 1946. Hadir dalam rapat sejumlah komandan perang, diantaranya Kepala Staf Mayor Makmun Murod, Kepala Kesehatan Tentara merangkap Kepala Perminyakan dr.Ibnu Sutowo, Asisten/Perwira Operasi Kapten Alamsyah Ratuperwiranegara, Komandan Polisi Tentara Kapten Jusuf Singadikane, Mayor Saroingsong dari ALRI, Perwira Penerangan merangkap Sekretaris Pertempuran Letnan Dua Malik Helmi Nasution.
Dalam pertemuan itu, utusan Pemerintah Pusat A.K.Gani menyampaikan instruksi dari Presiden Soekarno yang meminta "perlu mengadakan perundingan dengan Belanda untuk mengakhiri permusuhan."
A.K Gani menjelaskan, Presiden Soekarno meminta perundingan dengan Belanda dilakukan di Palembang bukan tanpa alasan. Menurut A.K. Gani, pertempuran di Palembang jika tidak dihentikan akan merugikan bangsa indonesia secara politik. Sebab, dunia internasional sangat menyoroti kepemimpinan Presiden Soekarno. Jika pertempuran tetap terjadi dan Indonesia tidak mampu berunding dengan Belanda, maka dunia internasional akan menganggap pemerintah pusat tidak memiliki kewibawaan di mata rakyatnya. Karena pada saat itu pemerintah pusat tengah mengupayakan pengakuan dari negara-negara internasional tentang kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 silam.
Dengan berbagai pertimbangan, pada akhirnya, rapat tersebut menyepakati untuk mengikuti instruksi Presiden Soekarno, menghentikan peperangan dan mengedepankan perundingan dengan Belanda.
Menjalankan keputusan itu tidak lah mudah, sebab amarah para pejuang TRI dan para laskar sudah memuncak dengan Belanda setelah berbagai pertempuran panjang yang terjadi selama Lima Hari Lima Malam sebelumnya. Dari segi kedudukan pun, para pejuang dan laskar-laskar meyakini bahwa Belanda dapat dikalahkan hari itu, karena posisi mereka sudah terkepung oleh kekuatan tentara TRI dan laskar-laskar.
Disatu sisi, instruksi Presiden Soekarno yang meminta perundingan dilakukan harus tetap dijalankan. Sehingga Kolonel Bambang Utoyo bersama Gubernur Sumatera Selatan Dr.M.Isa memutuskan untuk keliling menghampiri para komandan pasukan yang tersebar di sejumlah wilayah berbeda untuk memberikan penjelasan dan berbagai pertimbangan kepada para pasukan agar menghentikan pertempuran dan memilih untuk mematuhi instruksi Pemerintah Pusat dengan menjalankan perundingan dengan Belanda.
Pada saat menemui para pemimpin front rakyat di Seberang Ilir, ternyata sempat ada insiden yang mengerikan. Salah satu anggota front dari Anggota TRI Seberang Ilir tidak terima dengan keputusan yang diambil oleh Panglima Divisi Garuda II itu. Sampai-sampai, salah seorang Anggota TRI itu melepaskan tembakan ke arah Kolonel Bambang Utoyo dan Gubernur Sumsel, Dr.M.Isa sambil berteriak "mampuslah kalian pengkhianat" teriak salah satu Anggota TRI yang tidak disebutkan namanya. untung saja tembakan anggota itu tidak mengenai Panglima dan Gubernur.
Insiden itu hampir saja menghilangkan nyawa Kolonel Bambang Utoyo dan Gubernur Sumsel, Dr.M.Isa. Meskipun sempat mendapat serangan, Kolonel Bambang Utoyo tetap menjelaskan kepada para front rakyat yang saat itu memiliki semangat tempur mengalahkan Belanda. Sampai pada akhirnya, seluruh front dan laskar-laskar pejuang di Sumatera Selatan mengikuti keputusan yang diambil oleh Panglima Divisi Garuda II untuk menghentikan peperangan dan mengambil jalur perundingan demi menjalankan perintah Pemerintah Pusat.[viva]