GELORA.CO - Kemajuan teknologi akan menggerus banyak jenis pekerjaan yang sudah eksis dalam waktu lama. Cara kerja pekerjaan tersebut akan hilang digantikan teknologi.
Deputi Bidang SDM, Teknologi, dan Informasi Kementerian BUMN Alex Denni mengatakan bahwa hilangnya pekerjaan ini harus diwaspadai perusahaan negara.
Di sisi lain, Indonesia masih kekurangan pekerja yang bertalenta terutama di posisi level atas manajemen. Kata dia, tidak perlu alergi impor pekerja asing yang mumpuni.
75 Juta Pekerjaan Akan Hilang
Alex Denni menyebut dalam dua tahun akan ada 75 juta pekerjaan yang akan hilang. Pekerjaan yang akan terdisrupsi oleh teknologi itu biasanya yang dilakukan berulang oleh manusia seperti administrasi.
"Yang perlu kita waspadai adalah ada ancaman job-job yang akan hilang. Diperkirakan 75 juta job akan hilang dalam dua tahun ke depan yang sifatnya pekerjaan rutin, administratif, dan transaksional yang gampang sekali dibidik teknologi," ujar Alex dalam peluncuran "Core Values AKHLAK Pos Indonesia" secara virtual, Senin (14/9).
Meski 75 juta pekerjaan akan digantikan perannya oleh teknologi, akan banyak juga jenis pekerjaan baru yang muncul. Denni menyebut, dalam sebuah prediksi global, sebanyak 133 juta pekerjaan baru akan tercipta di era disrupsi ini.
Dia mengatakan, tren teknologi tidak bisa dihindari. Karena itu, untuk bisa bertahan, BUMN harus bisa menyesuaikan diri dalam perkembang industri digital.
"Tahun lalu saya di Jasa Marga (sebagai direktur), itu ada pekerjaan transaksional seperti (layanan pembayaran) ada di tol, otomatis pekerjaan yang berada di ujung yang berpotensi digantikan teknologi. Mudah-mudahan kita bisa create job lain," ujar dia.
Tidak Alergi Impor Pekerja Profesional
Dia juga menyebut banyak perusahaan negara kekurangan pekerja yang mumpuni atau talented. Fenomena ini juga terjadi pada perusahaan swasta.
Alex Denni mengatakan, jumlah pekerja di Indonesia yang banyak tidak sebanding dengan kemampuan kerjanya. Jika dibandingkan dengan negara tetangga, jumlah pekerja Indonesia yang talented di bawah Singapura dan Malaysia dibarengi dengan index global competitiveness yang rendah.
Data terakhir, Singapura menduduki peringkat pertama dengan skor 84,8 persen. Malaysia peringkat 27 dengan skor 74,6 persen. Sedangkan Indonesia di urutan 50 dengan skor 64,5 persen.
"Ini jadi PR karena di satu sisi kita kekurangan talent. Ini tidak hanya dialami Pos Indonesia, tapi banyak perusahaan lain. Talent kita shortage. Secara global talent, Singapura dan Malaysia jauh di atas kita. Talent kita kalah bertarung, secara agregat pun kita kalah kompetitif," kata dia.
Kekurangan pekerja yang berkualitas itu, kata Alex terjadi bukan hanya di level bawah, tapi juga di tengah hingga senior dalam manajemen perusahaan.
Alex mengatakan untuk di level jajaran atas manajemen, diminta agar tidak alergi impor pekerja yang berkualitas dari luar negeri. Dia mengibaratkan seperti klub sepakbola sebesar Barcelona saja perlu mengimpor pemain dari luar negeri agar klub bisa bersaing.
"Kadang, untuk jadi pabrik talent, kita harus impor dulu. Bahkan sekelas Barcelona saja perlu impor talent sebelum ekspor talent. Kita enggak boleh alergi import talent yang pada akhirnya kita bisa ekspor talent," kata Alex. (*)