Kebijakan Moneter Tersandera Utang Luar Negeri, Investor Asing Diuntungkan

Kebijakan Moneter Tersandera Utang Luar Negeri, Investor Asing Diuntungkan

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

Oleh:Anthony Budiawan
 RAPAT Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) 16 hingga 17 September 2020 akhirnya memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan 4 persen. Salah satu alasannya “mempertimbangkan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah inflasi yang diperkirakan tetap rendah”.

Padahal, suku bunga acuan 4 persen termasuk tinggi, bisa menghambat pemulihan ekonomi nasional. Karena kebijakan moneter yang seharusnya dilakukan di tengah resesi ekonomi adalah menurunkan suku bunga acuan dan suku bunga kredit: untuk membangkitkan permintaan, konsumsi dan investasi. Untuk membangkitkan ekonomi nasional.

Alasan mempertahankan suku bunga acuan 4 persen sangat aneh: inflasi diperkirakan rendah, tapi suku bunga tidak diturunkan, karena mau menjaga stabilitas nilai tukar? Artinya, kebijakan moneter Bank Indonesia lebih mengutamakan “stabilitas” rupiah, di atas pemulihan ekonomi. Padahal, pemulihan ekonomi sangat penting bagi rakyat. Pemulihan ekonomi dapat menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan.

Sedangkan stabilitas rupiah untuk kepentingan siapa?

Kebijakan moneter BI memang dilematis. Kalau BI menurunkan suku bunga, pemulihan ekonomi akan lebih cepat terealisasi. Dan ini yang diharapkan rakyat: kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat.

Dilematis. Penurunan suku bunga acuan akan diikuti penurunan suku bunga kredit, termasuk suku bunga obligasi dan Surat Berharga Negara (SBN). Penurunan suku bunga SBN bisa membuat investor menarik diri. Khususnya investor asing. SBN menjadi kurang diminati. Investor asing mungkin lebih memiilih obligasi negara lain. Misalnya Vietnam, Thailand, Singapore, atau Malaysia.

Hengkangnya investor asing membuat supply dolar (mata uang asing) ke Indonesia turun. Ada tiga kelompok kebutuhan dolar Indonesia. Pertama, kebutuhan untuk membiayai defisit transaksi berjalan. Kedua, Kebutuhan untuk membayar utang luar negeri (pemerintah dan swasta) yang jatuh tempo. Ketiga, kebutuhan untuk membayar utang luar negeri (pemerintah dan swasta) yang belum jatuh tempo tapi dicairkan oleh investor bersangkutan melalui pasar obligasi.

Defisit transaksi berjalan tahun 2019 sekitar 30 miliar dolar AS. Defisit ini turun di masa pandemi 2020. Karena impor turun tajam, membuat neraca perdagangan mengalami surplus cukup besar. Defisit transaksi berjalan pada Semester I/2020 6,6 miliar dolar AS. Kalau defisit ini berlanjut di semester II/2020, maka kebutuhan dolar hingga akhir tahun diperkirakan minimal 5 miliar dolar AS.

Utang luar negeri (ULN) per 31 Desember 2019 yang akan jatuh tempo pada tahun 2020 total 63,3 miliar dolar AS. Terdiri dari utang pemerintah (dan Bank Indonesia) 11,25 miliar dolar AS dan utang swasta (termasuk BUMN) 52,06 miliar dolar AS. Belum termasuk pembayaran bunga.

Kelompok ketiga lebih berbahaya karena tidak terukur. Ketika asing tidak tertarik lagi memberi pinjaman ke Indonesia, misalnya karena suku bunga dianggap rendah, dan menjual obligasinya, maka kurs rupiah mengalami tekanan dan anjlok. Seperti terjadi pada akhir Maret 2020 di mana kurs rupiah di pasar spot sempat mencapai Rp 17.000 per dolar AS.

Untuk menjaga agar investor terus tertarik memberi pinjaman ke Indonesia, untuk menutupi kebutuhan dolar yang besar tersebut, maka Bank Indonesia harus mempertahankan suku bunga tinggi.

Dilematis. Sebaliknya, suku bunga tinggi akan menghambat pemulihan ekonomi. Serta merugikan perusahaan dan nasabah perorangan yang mempunyai pinjaman dalam rupiah. Total kredit dalam rupiah mencapai Rp5.000 triliun lebih (termasuk perusahaan pembiayaan).

Dari jumlah tersebut, kredit konsumsi mencapai Rp 1.600 triliun. Kelompok peminjam rupiah ini sangat dirugikan dengan kebijakan moneter mempertahankan suku bunga tinggi yang notabene menguntungkan investor asing.

Setiap penurunan 1 persen bunga kredit akan memberi tambahan likuiditas Rp 50 triliun per tahun kepada kelompok peminjam rupiah. Penurunan bunga kredit yang ideal di masa resesi ini  bisa mencapai 5 persen dibandingkan bunga kredit saat ini. Sehingga potensi kerugian masyarakat mencapai Rp 250 triliun per tahun.

Kerugian mempertahankan suku bunga acuan jauh melampaui bantuan stimulus fiskal. Sehingga, menghambat pemulihan ekonomi nasional.

Kebijakan moneter saat ini tersandera dengan kondisi ekonomi yang lemah: defisit transaksi berjalan yang akut dan ULN yang besar. BI lebih memilih mempertahankan stabilitas rupiah yang menguntungkan investor asing. Meskipun kebijakan ini berpotensi menghambat pemulihan ekonomi nasional serta merugikan peminjam dalam rupiah di dalam negeri.

(Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita