GELORA.CO - Gugatan ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold yang dilayangkan Begawan Ekonomi Rizal Ramli dikawal langsung oleh pakar hukum tata negara, Refly Harun.
Usai mendaftarkan gugatannya di Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini, Refly mengungkapkan argumentasi baru yang ia bawa dan terangkum di dalam dua aspek.
"Jadi argumentasi ada dua, argumentasi yang sifatnya konstitusional dan ekstra atau non konstitusional," ungkap Refly di Kantor MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jumat (4/9).
Lebih rinci, eks Ketua Tim Anti Mafia Mahkamah Konstitusi ini menjabarkan satu per satu yang dimaksud dengan argumentasi konstitusional dan argumentasi non konstitusional.
Pertama, yang terkait argumentasi konstitusional, Refly menjelaskan PT Presiden telah mengamputasi hak sejumlah partai untuk mengajukan capres.
Sebagai buktinya, ia menjadikan empat partai politik yang pada Pemilu 2019 kemarin tidak bisa mengajukan sendiri capres harapannya.
"Secara post factum itu ada empat partai politik yang kehilangan hak konstitusionalnya, untuk bisa mengusung atau mengajukan calon presidennya. Yaitu PSI, Garuda, kemudian Berkarya dan kemudian Perindo. Partai ini tidak bisa mengusung calon karena dia tidak punya suara atau kursi pada pemilu sebelumnya, 2014," ungkap Refly.
Bahkan, hal yang sama kemungkinan terjadi pada Pilpres 2024 mendatang. Di mana, terdapat partai-partai baru yang kemungkinan tidak bisa mencalonkan sendiri capres dari partainya.
Karena sebagaimana diketahui, PT Pilpres yang diatur di dalam Pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilu menetapkan besaran dukungan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR partai politik, atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
"Ada partai baru, contoh misalnya Gelora. Dia enggak akan bisa mencalonkan presiden. Tapi kan kalau pendukung bisa! Wah kalau pendukung jangankan peserta Pemilu, kita saja bisa mendukung, karena hak konstitusional adalah hak untuk mengusung calon," katanya.
"Nah, hak konstitusional ini secara teoritis tidak boleh dihilangkan di peraturan di bawahnya, di undang-undang. Ini hak konstitusional, hak di atas," sambungnya.
Kemudian untuk argumentasi non konstutusional, Refly menyebutkan bahwa aturan itu menciptakan kerusakan yang luar biasa. Di mana, kontestasi Pilpres yang hanya diikuti dua pasangan calon menghasilkan perpecahan di masyarakat.
"Kalau kita lihat dengan hati yang jujur, apa sih legitimasi untuk mempertahankan presidential threshold? Enggak jelas. Kecuali bahwa kemarin itu (Pilpres 2019) adalah menjamin the incumbent bisa nyalon lagi, dan kemudian lawannya cuma satu, head to head. Karena jauh lebih gampang memenangkan pertarungan kalau dia head to head ketimbang calonnya harus 5," paparnya.
Maksud saya, Pilpres yang paling genuine itu, yang paling bagus itu adalah ketika pilpres 2004, di mana calonnya 5 dan pasca pilpres kita tidak terkotak-kotak jadi cebong dan kampret," demikian Refly Harun. (Rmol)