GELORA.CO - Pemerintah Indonesia diminta meningkatkan kewaspadaan pasca-masuknya kapal cost guard Cina bernomor lambung CCG 5204 di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Laut Natuna Utara pada Sabtu, 12 September 2020. Kapal tersebut terdeteksi oleh petugas patroli Badan Keamanan Laut atau Bakamla RI.
“Instansi-instansi keamanan laut Indonesia perlu untuk terus mewaspadai keberadaan kapal-kapal ikan atau kapal hina lainnya di Laut Natuna Utara, khususnya di wilayah yang berbatasan langsung dengan laut lepas South China Sea agar hak berdaulat Indonesia di ZEE dan Landas Kontinen tidak dilanggar,” tutur peneliti senior Indonesia Ocean Justice Initiative, Andreas Aditya Salim, dalam keterangannya, Ahad, 20 September 2020.
Pihak kapal cost guard Cina bersikeras memasuki wilayah Indonesia atas dasar klaim mereka terhadap area nine dash line atau sembilan garis putus-putus yang diyakini merupakan wilayah teritorial Negeri Tirai Bambu. Personel kapal itu menyampaikan bahwa mereka tengah berpatroli di zonanya.
Padahal nine dash line merupakan klaim yang tidak memiliki dasar hukum. Klaim itu juga bertentangan dengan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang diputuskan oleh the Permanent Court of Arbitration (PCA) pada 2016.
Beberapa negara belakangan pun telah menyatakan secara resmi keberatannya atas klaim Cina terhadap area nine dash line tersebut. Negara-negara itu adalah Filipina yang menyatakan secara resmi pernyataannya pada 6 Maret 2020, Vietnam pada 30 Maret 2020, Amerika Serikat pada 1 Juni 2020, Indonesia pada 12 Juni 2020, Australia pada 23 Juli 2020, Malaysia pada 29 Juli 2020, dan Jerman, Prancis, serta Inggris pada 16 September 2020.
Kehadiran kapal cost guard Cina di wilayah ZEE Indonesia, khususnya Laut Natuna Utara, bukan kejadian baru. Kapal patroli yang sama pernah memasuki wilayah Indonesia pada Maret 2016 dan Desember 2019. Bahkan, kapal cost guard itu pernah mengganggu upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh Indonesia terhadap kapal-kapal pelaku ilegal fishing atau penangkapan ilegal dari Cina.
Selain meningkatkan kewaspadaan masuknya kapal Cina ke Laut Natuna Utara, pemerintah diminta menjaga lebih ketat terhadap adanya potensi pencurian ikan di area ZEE yang berbatasan dengan Samudera Pasifik, yaitu Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 716 dan 717. Musababnya, menurut kajian Overseas Development Institute, saat ini jumlah armada kapal ikan berjarak jauh di seluruh dunia diperkirakan mencapai 16.966 unit.
“Sebagian besar menggunakan alat tangkap pukat dan melakukan banyak kegiatan penangkapan ikan di Northwest Pacific, Southeast Pacific, dan Southwest Atlantic,” kata Andreas. Di samping itu, berdasarkan data Regional Fisheries Management Organization yang wilayah pengelolaannya berada di Samudra Pasifik, yaitu Western & Central Pacific Fisheries Commission dan South Pacific Regional Fisheries Management Organization, jumlah kapal ikan berbendera Cina yang terdaftar pada 2020 sudah mencapai 1.305 unit.
Andreas meminta pemerintah menyusun strategi dan rencana operasi bersama (SROB) untuk menjaga wilayah yurisdiksi Indonesia, terutama yang berbatasan langsung dengan laut lepas. Dia melanjutkan, Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal pun perlu ditugaskan untuk memperkuat kerja sama dan koordinasi terkait penegakan hukum di bidang perikanan.
“Mengingat luasnya wilayah yang dijaga dan diawasi yang berakibat pada besarnya biaya operasional serta beban APBN yang saat ini penggunaannya difokuskan untuk penanganan pandemi COVID-19, SROB menjadi elemen yang sangat penting,” ucapnya. (*)