GELORA.CO - Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, soal penegakkan hukum di Indonesia jelek dikritisi oleh banyak pihak.
Salah satunya oleh analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun, yang menganggap pernyataan Mahfud seperti ucapan seorang pengamat hukum.
"Pernyataan Mahfud MD yang menyebut hukum sudah menjadi industri dan mengaku dirinya dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak bisa melakukan apa-apa, ini mirip pernyataan pengamat hukum," ujar Ubedilah Badrun kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (18/9).
Sebagai Menkopolhukam, kata Ubedilah, Mahfud memang benar tidak boleh melakukan intervensi dalam konteks penegakkan hukum karena menggunakan teori trias politika dalam makna separation of power.
"Posisi Mahfud MD adalah bagian dari eksekutif. Tetapi Mahfud MD tampaknya lupa bahwa beliau Menteri Koordinator yang salah satunya menangani problem hukum secara nasional," ucap Ubedilah.
"Ini juga artinya Indonesia adalah negara yang tidak murni menggunakan trias politika dalam makna separation of power atau pemisahan kekuasaan, tetapi lebih terlihat dimaknai sebagai pembagian kekuasaan yang satu sama lain antara eksekutif legislatif dan yudikatif terlihat saling simbiosis mutualisme," sambungnya.
Dalam makna separation of power sendiri, lanjut Ubedilah, dimaknai simbiosis mutualisme di area eksekutif itu lah ada Menkopolhukam. Karena jika murni separation of power, harusnya Menkopolhukam tidak perlu ada, karena tidak ada gunanya.
"Bubarkan saja (Kemenkopolhukam). Jadi argumen Mahfud MD itu argumen separation of power dalam makna yang murni. Itu keliru pemaknaannya dalam konteks Indonesia saat ini yang punya Menkopolhukam, kalau Mahfud MD dasarnya separation of power harusnya berubah nama Menkonya menjadi Menkopolkam saja atau Menteri Koordinator Politik dan Keamanan saja, hilangkan kata hukum," terang Direktur Eksekutif Center of Social Political Ekonomic and Law Studies (Cespels).
Sehingga, tambah Ubedilah, karena melekat kata hukum pada Kemenkopolhukam, maka seluruh praktik penegakkan hukum tentu melekat juga tanggungjawabnya pada Menkopolhukam.
"Tentu bukan dalam konteks intervensi proses penegakan hukum, itu salah logika. Tetapi dalam konteks edukasi hukum dan evaluasi penegakan hukum di Indonesia, karena posisinya eksekutif. Itu yang seharusnya dilakukan oleh Menkopolhukam, lakukan evaluasi penegakan hukum, panggil Menkumham," tuturnya.
Jadi jangan mengatakan tidak bisa apa-apa, apalagi bawa-bawa nama Presiden. Kalau Menkopolhukam dan Presiden tidak bisa apa-apa pantesan Republik ini makin kacau," pungkas Ubedilah. (Rmol)