Oleh: DR. Syahganda Nainggolan
JUMHUR Hidayat, mantan aktifis ITB yang pernah dipenjarakan rezim militer orde baru ke Nusa Kambangan, khusus bertanya kepada saya, “Kenapa Jenderal (purn) Gatot Nurmantyo mau ikut demonstrasi kemarin di depan Gedung Sate, Bandung?"Saya berjanji untuk membuat tulisan ini untuk menjawab alasan psikologis dan sosiologis partisipasi Gatot Nurmantyo (GN) itu dalam kacamata ilmu. Karena memang baru sekali dalam sejarah Bangsa Indonesia, seorang Jenderal (asli) Bintang Empat ikut dalam aksi demo. Biasanya para jenderal-jenderal purnawirawan menikmati "comfort zone" sebagai anggota masyarakat yang terhormat di bumi pertiwi ini. Selain umumnya banyak diantara mereka menjadi komisaris-komisaris perusahan raksasa, dengan gaji yang besar.
Demonstrasi menyelamatkan Indonesia yang digelar kelompok massa rakyat, yang dipimpin Kolonel (purn) Sugeng Waras, Senin, 7/9, kemarin di Bandung, intinya adalah mengutuk krisis demokrasi yang ada saat ini. Aksi itu disebabkan adanya kemunduran demokrasi, di mana Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia, dupersulit oleh aparatur negara, dalam hal ini yang tersurat adalah Satgas Covid-19, yang mencabut rekomendasi perlengkapan ijin acara Deklarasi KAMI Jabar, yang sedianya dilakukan di Hotel Gran Pasundan, Senin, 7 /9/2020.
Padahal, seminggu sebelumnya, pihak hotel menjamin acara Deklarasi KAMI Jabar tidak masalah karena baru saja hotel tersebut dipakai oleh kelompok bisnis air minum yang berkumpul hampir 1000 orang. Sedangkan KAMI hanya untuk 500 orang.
Di luar urusan tersurat, tentu urusan tersirat, kita melihat rangkaian konvoi konvoi calon calon kepala daerah, baik Bupati/Walikota, maupun Cagub, bebas berdesak2an tanpa protokol Covid-19. Sebaiknya, acara di hotel, karena bisnis profesional, pasti protokol Covid-19 dilakukan serius oleh pihak hotel tersebut.
Tersirat artinya pula, pasti bukan urusan Satgas Covid-19 yang ngotot melarang acara KAMI tersebut. Lalu siapa? Itulah yang ingin dikejar aksi demo KAMI Jabar tersebut.
Gatot dalam perspektif Maslow
Ahli-ahli kepribadian telah mengembangkan ilmu "psychodynmic theory, Social Learning Theory, Situation-person interaction theory dan Need Theory" untuk melihat kepribadian seseorang.
Berbagai ilmu tersebut di atas sebagian besar bersumber pada Sigmund Freud, sebagai guru mereka. Freud melihat staging atau tahapan perkembangan kepribadian terkait dengan masa awal kehidupan manusia, yakni fase oral, anal dan phallic. Namun, dalam perkembangan dewasa ini, para ahli menawarkan kombinasi interaksi sosial pada fase fisikal yang dilontarkan Freud.
Perkembangan Gatot Nurmantyo dalam analisa kepribadian (the ID, Ego and Super Ego) yang mengikutkan analisa interaksi sosial, di mana GN hidup dalam keluarga militer dan asrama militer, tentu berpengaruh pada sifat sifat dasar GN, terkait dengan heroisme, tanggung jawab dan disiplin. Keluarga memberikan moralitas dasar, serta lingkungan militer (asrama) menambahkan tentang yang salah vs benar.
Maslow dalam "Hierarchy of Needs" mendekati analisa dari kebutuhan hidup seseorang untuk mengetahui level manusia tersebut. Menurutnya, manusia terendah berada pada level kebutuhan fisik, di atasnya kebutuhan keamanan, di atasnya lagi kehidupan sosial, laku kebutuhan kenyamanan (penghormatan, dll) dan terakhir kebutuhan aktualisasi diri (menyangkut keagungan dan moralitas).
Dalam perspektif Maslow ini, Gatot Nurmantyo, sebagai jenderal penuh (bukan seperti beberapa jenderal yang bintang empat politis) telah mencapai tahapan/level ke empat, yakni penghargaan, baik penghargaan negara maupun berbagai kenyamanan hidup lainnya.
Namun apa yang mengganggu Gatot Nurmantyo sehingga dia tidak berhenti pada kenyamanan level empat hirarki Maslow?
Dalam berbagai kesempatan, GN sudah menyampaikan bahwa dia sudah berusaha menghindari politik selama hampir 3 tahun sejak pensiun. Dalam keluarga yang super mapan, ditandai dengan harta, anak2 yang sukses, dan tidak ada beban hukum di masa lalu, selama ini GN menghabiskan waktunya mengurus cucu dan bertani.
Namun, ketika menurutnya ada gejala ingin mengubah Pancasila dari kekuasan yang sedang berlangsung, khususnya sejak RUU HIP diupayakan diundangkan di DPR-RI beberapa waktu lalu, GN terganggu. Menurutnya, sejak dia melakukan Sumpah Prajurit di bawah Al Quran, ketika lulus Akademi Militer, tanggung jawab mempertahankan Pancasila adalah persoalan moralitas dasar yang dia akan pertahankan hidup atau mati. Menurutnya, rencana pengubahan Pancasila yang bisa diperas menjadi Trisila dan Ekasila adalah upaya makar, yang akan membubarkan negara. Dan ini menjadi gangguan kejiwaan yang mendorong moral politiknya kembali menunjukkan tanggung jawab.
Inilah penjelasan level ke lima teori Maslow. Bahwa GN harus menapaki level hirarki Maslow dengan meninggalkan kenyamanan level keempat dan tentu mempunyai resiko besar.
Gatot dalam Perspektif Sosiologis
Membaca sosok Gatot Nurmantyo dari personality theory dapat menggambarkan gelora hati dan moralitas GN tersebut. Penjelasan sosiologis akan membantu lebih dalam lagi akan hal tersebut.
Ahli-ahli sosiologi dalam perspektif Durkhemian, Marxian dan Interaksi Sosial menjelaskan bagaimana perjalanan individu dalam konteks sosial. Memakai Durkheim, kita melihat lingkungan militer dalam kehidupan GN seumur hidupnya membuat perspektif GN dalam melihat situasi terikat pada lingkungan tersebut. Misalnya, GN secara tegas meyakini bahwa Komunis dan Komunisme adalah ancaman sentral di Indonesia. Hal ini sesuai dengan realitas lingkungan militer yang melihat Komunis sebagai ideologi paling berbahaya. Khususnya ketika pada tahun 1965, banyak jenderal jenderal yang dibunuh Komunis kala itu.
GN berbeda dengan pemerintah ketika rezim Jokowi melakukan berbagai deislamisasi, baik secara keras dengan kriminalisasi ulama, maupun propaganda media, Gatot malah berkali2 membuat langkah berlawanan, a.l. mengundang Ustad Abdul Somad ke Markas TNI, mengadakan pengajian 1000 hafiz/hafizah di Mabes TNI dan melakukan nonton bareng film anti Komunis (G/30S PKI).
GN bukan saja memperlihatkan kedekatannya pada ulama, namun GN juga meyakini bahwa Indonesia ini hanya akan aman dan besar kalau utamanya NU dan Muhammadiyah bersatu.
Lalu bagaimana GN melihat oligarki alias penguasaan asset-asset negara di tangan cukong2? Menariknya, dalam pidato GN di Tugu Proklamasi, dia mengutuk oligarki ekonomi yang berlindung "dibalik" ketiak konstitusi. Gatot malah menginginkan sila kelima Pancasila tentang keadilan sosial dijalankan dengan sungguh2. Di sini, analisa Durkhemian yang strukturalis harus digeser pada teori interaksi sosial, di mana struktur dan agen sama kuatnya berpengaruh. Sebagai agen (tokoh), GN mempunyai "free will" dalam hidupnya, di mana dia bermaksud mengubah struktur atau lingkungan atau sistem.
Di sini pula lah pertanyaan Jumhur Hidayat terjawab, bahwa meskipun Gatot hidup sepenuhnya dalam lingkungan militer, namun dia ingin demokrasi tidak dipermainkan. GN marah dengan demokrasi yang dipermainkan itu, sehingga dia meninggalkan kenyamanannya sebagai orang sukses, kembali mau berdemonstrasi, dengan resiko.
Penutup
Mengapa Gatot Nurmantyo mau ikut demo kemarin di Gedung Sate? Bukankah dia mantan Jenderal bintang 4 asli (bukan seperti banyak bintang empat kehormatan?) dan mantan Panglima TNI yang hidupnya nyaman? Apakah dia "post power syndrome"?
Menurut teori kepribadian dan sosiologi yang saya jelaskan di atas, GN memang telah meninggalkan kenyamannannya sebagai orang terhormat pada level Self Esteem yang disebut Maslow of Hierarchy of Needs. Moralitas GN terganggu dengan adanya rencana mengubah Pancasila, sebagaimana yang sedang diupayakan pada RUU Pancasila beberapa bulan lalu.
Sebagai prajurit dan anak prajurit yang besar dalam asrama militer, GN mempunya "super ego" yang sensitif atas isu Pancasila tersebut. Selain isu Pancasila sebagai utama, akhirnya merembet pada isu-isu lainnya yang terkait dengan degradasi negara dan bangsa yang menuju kehancuran, yang ditandai dengan isu2 deislamisasi, oligarki dan kesalahan penanganan pandemi Covid-19.
Dalam orasi politiknya, sebagai demonstran, GN telah menyatakan siap mati atau ditangkap rezim ini, jika upaya politik moral yang dia jalankan untuk mengkoreksi kehidupan berbangsa dan bernegara direspon sebagai kejahatan.
Namun, essai yang saya tulis ini sesungguhnya kembali untuk menjawab pertanyaan Mohammad Jumhur Hidayat, mantan tokoh aktifis ITB legendaris yang ditangkap militer di masa Orde Baru, yang bertanya pada saya: Kenapa Seorang Jenderal Mau ikutan Demo? Mungkin Jumhur cemburu bahwa sudah ada sosok (eks) militer yang juga mau demonstrasi, bukan lagi hanya kaum buruh atau mahasiswa atau anak STM. Cemburu karena ada manusia yang mau meninggalkan semua kemewahan menjadi seorang demonstran, demi menyelamatkan negara ini.
(Penulis adalahDirektur Eksekutif Sabang Merauke Circle.)