GELORA.CO - Tim Riset Institut Teknologi Bandung (ITB) menyampaikan soal kemungkinannya terjadi potensi tsunami. Tsunami diperkirakan terjadi di sepanjang pantai selatan Jawa Barat dan Jawa Timur.
Peneliti ITB Sri Widiyantoro menjelaskan tinggi tsunami dapat mencapai 20 meter di pantai selatan Jawa Barat dan 12 meter di selatan Jawa Timur, dengan tinggi maksimum rata-rata 4,5 meter di sepanjang pantai selatan Jawa jika terjadi secara bersamaan.
"Seismic gap ini berpotensi sebagai sumber gempa besar (megathrust) pada masa mendatang. Untuk menilai bahaya inundasi, pemodelan tsunami dilakukan berdasarkan beberapa skenario gempa besar di sepanjang segmen megathrust di selatan Pulau Jawa. Skenario terburuk, yaitu jika segmen-segmen megathrust di sepanjang Jawa pecah secara bersamaan," kata Sri saat dihubungi detikcom, Kamis (24/9/2020).
Menanggapi riset tersebut, Kasubid Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Wilayah Barat Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Akhmad Solikhin mengatakan informasi tersebut patutnya dijadikan sebagai hal untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan. Bukan malah menimbulkan ketakutan dan kepanikan.
"Informasi tersebut jangan dijadikan sebagai hal untuk kita menjadi takut dan panik, namun dijadikan untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan," kata Akhmad kepada detikcom.
Dia menuturkan secara garis besar hasil riset tersebut menggambarkan potensi gempa bumi dari megathrust di Selatan Jawa yang juga berpotensi memicu tsunami. "Informasi mengenai seismic gap di selatan Jawa sudah banyak didiskusikan sejak lama," ucap Akhmad.
Menurut Akhmad, dengan adanya hasil riset yang dipublikasikan di nature scientific report (jurnal ternama) tersebut, menambah informasi mengenai potensi serta bahaya gempa bumi dan tsunami di selatan Jawa. Dia menjelaskan publikasi tersebut tentunya dapat dijadikan sebagai rujukan dalam upaya mitigasi bencana gempa bumi dan tsunami, khususnya di selatan Jawa.
Akhmad juga mengatakan, ada beberapa langkah mitigasi yang bisa dilakukan yaitu survei kegeologian serta kajian bahaya gempa bumi. Kemudian, melakukan pemetaan Kawasan Rawan Bencana (KRB) gempa bumi dan tsunami.
"Yang kemudian petanya disosialisasikan kepada stake holder untuk dimanfaatkan di antaranya menjadi panduan dalam penataan ruang. Terakhir, melakukan sosialisasi atau penyuluhan mengenai bahaya geologi (erupsi gunungapi, gempa bumi, tsunami dan gerakan tanah) dan upaya mitigasinya," ujar Akhmad.
cara akurat terutama waktu kejadiannya. Namun potensi dan tingkat kerawanan suatu daerah sudah bisa diestimasi.
"Jadi penataan ruang berbasis kebencanaan bisa menjadi kunci mitigasi bencana. Peningkatan kapasitas masyarakat perlu dilakukan, masyarakat harus mengetahui potensi bahaya di daerahnya, kemudian menyesuaikan atau beradaptasi dengan kondisi tersebut, misalnya membangun bangunan tahan gempa bumi dan tidak tinggal di kawasan rawan tsunami tinggi," tuturnya.
"Kalau untuk mendeteksi kejadian gempa bumi sudah bisa, artinya kita bisa mengetahui gempa bumi dan tsunami setelah terjadi. Kalau alat atau ahli untuk memprediksi kejadian gempa bumi, hingga saat ini belum ada," Akhmad menambahkan.
Selain membekali diri dengan pengetahuan potensi bahaya di daerahnya, menurutnya masyarakat juga harus membekali diri dengan proses evakuasi diri sendiri. "Masyarakat juga harus mengetahui upaya penyelamatan diri ketika terjadi gempa bumi dan tsunami," kata Akhmad menegaskan.(dtk)