GELORA.CO - Berdasarkan data The Economist dan Intelegent Unit tahun 2019, Indeks Demokrasi Indonesia mengalami penurunan signifikan sejak 2015 hingga 2017 yakni dari 7,03 ke level 6,39.
Indeks demokrasi kemudian agak sedikit membaik tapi tidak signifikan di tahun 2017 hingga 2019 yakni dari 6,39 ke 6,44.
Sementara itu, untuk tingkat kebebasan sipil dan hak-hak politik sebagaimana dirilis Freedom House, Indonesia terus mengalami penurunan signifikan sejak tahun 2017 hingga 2020 yakni angka 65 merosot sampai ke level 61. Angka 61 ini akumulasi dari 31 untuk indikator kebebasan sipil dan 30 untuk kebebasan politik.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra mengatakan, dari dua indikator tersebut sedianya bisa menjadi acuan bahwa kualitas demokrasi Indonesia mengalami masalah. Karena itu, hal ini mesti menjadi perhatian seluruh komponen bangsa.
"Ini perlu menjadi perhatian kita bersama karena bagaimanapun dua indeks ini menjadi tolok ukur juga bagaimana kehidupan berdemokrasi kita," ujar Herzaky Mahendra Putra saat mengisi webinar Proklamasi Demokrasi Forum seri-ke 4 (PDF-4) DPP Partai Demokrat bertajuk "Menjaga Demokrasi Kita Di Masa Pandemi" pada Rabu malam (16/9).
Karena itu, Herzaky merasa heran apabila ada pihak-pihak yang menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia baik baik-baik saja.
Menurutnya, dua indikator untuk mengukur kualitas demokrasi menunjukan ada penurunan.
"Kalau kita mengatakan bahwa demokrasi kita baik-baik tapi kenyataannya dengan berbagai indikator itu tidak baik-baik," kata Herzaky.
Politisi muda Partai Demokrat ini mencontohkan sejumlah kasus penangkapan yang menimpa para aktivis pro demokrasi dan orang-orang yang kritis terhadap pemerintah mengalami gangguan.
Mulai dari maraknya peretasan situs berita Tempo hingga peretasan akun medsos epidemiologi UI Pandu Riono dan masih banyak yang lainnya.
"Ini perlu menjadi konsen kita bersama," tegasnya.
Namun begitu, Herzaky menyataka, ada yang lebih gawat dari permasalahan yang mempengaruhi kualitas demokrasi di tanah air yakni apabila pemerintah dan penyelenggara negara justru tidak menyadari masalah itu sendiri.
"Yang menjadi masalah adalah pada saat ada perubahan situasi demokrasi kita, tapi kita merasa baik-baik saja," selorohnya.
"Karena bagaimanapun kesadaran kita mengenai situasi saat ini menjadi sangat penting. Bagaimana kita memperbaiki suatu masalah kalau kita menganggap tidak ada masalah? Nah ini yang menjadi masalah besar nih. Ini lebih besar dari masalah itu sendiri. Karena apa? Karena kita tidak tahu atau menganggap tidak ada masalah," demikian Herzaky.
Selain Herzaky, narasumber lain dalam webinar tersebut antara lain Aktivis Demokrasi sekaligus Pemred The Jakarta Post Nezar Patria, Pemred Jawapos.com Dhimas Ginanjar Satria Perdana, dan anggota Komisi II DPR RI Fraksi Demokrat Mohammad Muraz.(rmol)