Oleh: Marwan Batubara
PEMBATASAN Sosial Berskala Besar (PSBB) DKI Jakarta yang semula akan berlangsung ketat berujung pada PSBB kompromistis non-total.Berdasar data yang terpercaya, Gubernur DKI Anies Baswedan dan sejumlah pakar pandemi berkesimpulan PSBB ketat harus segera berlaku agar transmisi Cocid-19 yang naik 25 persen dalam 2 minggu pertama September 2020 dapat ditekan.
Anies bertambah confident menerapkan PSBB total karena yakin dengan sikap Presiden Jokowi yang mengutamakan kesehatan dibanding ekonomi.
"Kesehatan yang baik akan menjadikan ekonomi kita baik. Artinya fokus kita tetap nomor satu adalah kesehatan," kata Jokowi di Istana Negara (7/9).
Tweets Presiden: “Agar ekonomi kita baik, kesehatan harus baik. Ini artinya, fokus utama pemerintah dalam penanganan pandemi kesehatan dan keselamatan masyarakat. Jangan sampai urusan kesehatan ini belum tertangani dengan baik, kita sudah me-restart ekonomi. Kesehatan tetap nomor satu".
Ternyata rencana Anies diprotes sejumlah menteri kabinet Jokowi. Menurut Menko Perekonomian Airlangga Hartarto rencana PSBB Anies menjadi penyebab turunnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di BEI.
Mendag Agus Suparmanto bilang PSBB Jakarta dapat menghalangi distribusi logistik yang bisa menghancurkan Produk Domestik Bruto (PDB).
Menperin Agus G. Kartasasmita sebut PSBB dapat menghancurkan industri manufaktur yang tengah menggeliat.
Sikap ketiga menteri yang pro ekonomi di atas ternyata dibiarkan saja oleh Presiden Jokowi. Karena pada dasarnya itulah sikap asli Presiden.
Terbukti, 3 hari berselang, Presiden Jokowi mengatakan agar kepala daerah berhati-hati dalam menetapkan PSBB. Katanya, banyak aspek terkait, misalnya kondisi sosial dan ekonomi bisa terdampak akibat PSBB.
Pembatasan Sosial Berskala Mikro (PSBM) atau komunitas lebih efektif diterapkan untuk disiplin protokol Kesehatan dibanding PSBB total.
Sebagian publik bertanya-tanya, mengapa sikap Presiden cepat berubah, inkonsisten? Padahal, jika punya ingatan kuat, mereka tidak perlu banyak tanya.
Sebab, selama ini memang demikianlah sikap kepala negara kita: inkonsisten, lain kata dengan perbuatan atau hipokrit.
Rakyat harusnya sudah terlatih untuk tidak terkecoh akibat sudah begitu seringnya hipokrisi terjadi. Terlepas dari itu, kita berharap semoga saja angka positivitas korona menurun.
Hipokrisi terkait korona sekitar April-Mei 2020 adalah, pemerintah pernah mengizinkan moda transportasi umum beroperasi, padahal sebelumnya dilarang karena berhubungan dengan zona merah. Mudik dilarang tetapi pulang kampung boleh.
Penerbangan domestik dilarang, tetapi penerbangan internasional boleh. Kedatangan orang (asing) dilarang, tapi tenaga kerja asing (TKA, Cina) boleh masuk. Ujungnya, angka positif korona terus meningkat.
Terkait pemberantasan korupsi, Jokowi bilang akan konsisten memberantas korupsi sesuai janji kampanye Pilpres-2014 dan Pilpres-2019. Namun pada sisi hipokritnya, revisi UU KPK justru didukung, wewenang KPK diberangus, maka para terduga koruptor kakap lolos jerat hukum.
Upaya pemberantasan korupsi justru mengalami langkah mundur. Ujungnya, korupsi semakin merajalela, seperti terjadi pada kasus-kasus, Jiwasraya, Asabri, Meikarta, dll.
Pada 29 Mei 2017, Jokowi dengan heroik mengatakan: "Pancasila itu jiwa dan raga kita. Perekat keutuhan bangsa dan negara. Saya Jokowi, saya Indonesia, saya Pancasila".
Ternyata pernyataan tersebut hanya slogan kosong. Sebab, sila kelima Pancasila yang mengamanatkan keadilan sosial atas sumber daya alam milik negara bagi kemakmuran rakyat sesuai Pasal 33 UUD 1945, justru dikangkangi dengan disahkannya UU Minerba 3/2020. Perampokan dan dominasi pengusaha oligarkis atas SDA rakyat akan terus berlanjut.
Pancasila mengandung ajaran moral dan musyawarah yang dalam UUD 1945 menjadi dasar perumusan Indonesia sebagai negara hukum, persamaan warga negara di depan hukum dan tidak adanya tempat bagi pemerintahan otoriter.
Ternyata Perppu No.1 atau UU No.2/2020 tentang Korona justru mengangkangi dasar negara dan amanat konstitusi, karena pemerintahan Jokowi justru memberangus hak budget rakyat/DPR (Pasal 2, UU No.2/2020), eksekutif mendapat status kebal hukum (Pasal 27) dan semakin otoriter dengan dieliminasinya sejumlah ketentuan dalam 12 UU yang berlaku (Pasal 28).
Pasal 28 UU 2/2020 tentang Korona dengan sadis menghapus berbagai UU yang disusun sebagai amanat reformasi, yakni UU 23/1999 tentang BI, UU 24/2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), UU 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan UU 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK).
UU ini dipersiapkan dalam rangka memenuhi kebutuhan payung hukum guna mencegah perampokan uang rakyat oleh para taipan dan konglo seperti terjadi pada megaskandal BLBI dan Obligasi Rekapitalisasi.
Megaskandal ini mewariskan utang Rp 645 triliun bagi rakyat. Lalu, Pancasila mana yang dimaksud Jokowi? Inilah bukti lain tentang sikap hipokrit itu!
Saat menyambut kemenangan sengketa Pilpres 2019 setelah Putusan Mahkamah Konstitusi (27/6/2020), Jokowi mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersatu kembali, bersama-sama membangun Indonesia.
Katanya, tidak ada lagi 01 dan 02, yang ada hanyalah persatuan Indonesia. Disampaikan, presiden dan wakil presiden terpilih adalah presiden dan wakil presiden bagi seluruh anak bangsa, bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ternyata “pidato” rekonsiliasi tersebut hanya basa-basi bernuansa hipokrit. Sambil terus memainkan isu-isu radikalisme, intoleran, anti kebinnekaan dan anti Pancasila, anak bangsa terus dibelah dan terbelah.
Bahkan pemerintah Saudi Arabia pun “dipengaruhi” untuk mencegah kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) ke Indonesia. HRS dicegah keluar Arab Saudi atas permintaan “satu pihak” di Indonesia.
Saat yang sama, sejumlah menko dan petinggi Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf ramai-ramai menyuarakan HRS pergi atas keinginan sendiri, masih terjerat banyak kasus, melanggar aturan overstay, terkena denda, dll.
Jokowi yang mengaku Presiden seluruh rakyat dan ingin rekonsiliasi, terbukti diam saja terhadap fitnah dan manipulasi tentang kasus HRS yang disuarakan para menko dan TKN. Dengan terus dihalanginya kepulangan HRS hingga saat ini, sandiwara dan sikap hipokrit pemerintah memang nyata adanya, sekaligus ironis dan memalukan.
Gara-gara pandemi Covid-19 masyarakat global mengenal istilah baru yaitu new normal, tatanan, kebiasaan dan perilaku hidup baru berbasis pada adaptasi untuk membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat.
Agar dapat bertahan hidup masyarakat bangsa-bangsa di dunia perlu menyesuaikan diri dengan budaya hidup baru, kenormalan baru, terutama dalam bidang kesehatan, sosial dan ekonomi.
Jauh sebelum Covid-19 mewabah, di bawah kepemimipinan Presiden Jokowi, sebagian rakyat Indonesia telah hidup dalam suasana sarat pelanggaran norma moral dan hukum.
Kondisi ini berlangsung rutin, berulang dan semakin menjadi-jadi dalam berbagai aspek kehidupan.
Perlahan, sebagian rakyat telah beradaptasi, sehingga kondisi ini menjelma menjadi kebiasaan berbangsa dan bernegara yang baru, new normal.
Bangsa digiring untuk biasa hidup di tengah pemerintahan yang semakin otoriter, inkonstitusional, inkonsisten atau hipokrit.
Anda-anda para tokoh, aktivis, cerdik-pandai, kaum terdidik, pemimpin partai dan para mahasiswa hanya pasrah menunggu nasib?
(Penulis adalah Deklarator KAMI)