GELORA.CO - Sekretaris Fraksi PPP DPR RI Achmad Baidowi sempat mengatakan munculnya klaster kantor pemerintahan “menunjukkan bahwa pemerintah sendiri kurang berhasil dalam mengedukasi pegawai mereka.”
Kondisi ini memang bertolak belakang dengan dorongan the new normal dari pemerintah sejak Mei lalu. Waktu itu, dorongan “berdamai” dengan COVID-19 diikuti dengan pemberlakuan lagi work from office (WFO). Presiden Joko Widodo bahkan menggelar rapat tatap muka lagi pada Senin 8 Juli.
Selain itu, pariwisata juga dibuka sebagian, penerbangan beroperasi lain, dan kunjungan ke mal dibolehkan.
Syaratnya adalah patuh terhadap protokol kesehatan.
Tujuannya sederhana: jika masyarakat beraktivitas, maka ekonomi diharapkan bisa bergeliat lagi. Pemerintah ingin menghindari resesi di Q3 usai Q2 pertumbuhan terkontraksi dalam di 5,32 persen.
Ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) Airlangga Hartarto bahkan mengampanyekan gerakan jaga jarak mulai 7 September sampai 6 Oktober--pernah dilakukan pemerintah sejak Maret. Pesannya sama: hindari kerumunan meski saat ini konteksnya mengarah pada persiapan Pilkada 2020.
“Minta untuk ditegaskan sehingga nanti pilkada tidak menjadi penyebar atau klaster baru dari pandemi COVID-19,” kata Airlangga usai sidang kabinet di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin (7/9/2020).
Ironis
Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan mengatakan munculnya penularan di sejumlah kantor pemerintahan menunjukkan para ASN masih belum patuh terhadap protokol COVID-19. Ia bilang itu ironi lantaran mereka seharusnya menjadi contoh.
“Pemerintah kan, inginnya ditaati, rakyat nurut. Tapi pegawainya pada enggak nurut,” ucap Ede saat dihubungi, Selasa (8/9/2020).
Menurutnya penerapan kembali WFH agak terlambat lantaran kasus COVID-19 sudah terlanjur tinggi. “Kita kehilangan golden opportunity cegah COVID-19. Kemarin seharusnya WFH total atau PSBB total.”
Berhubung kesempatan emas menekan penyebaran sudah lewat, Ede memberikan sejumlah catatan agar WFH yang dilakukan pemerintah berhasil. Pertama, serius menerapkan protokol kesehatan. Tidak hanya imbauan, tetapi aturan, kebijakan, hingga hukuman. Ini penting karena sejak WFH gelombang pertama lalu, masih ada saja masyarakat yang berkerumun di luar.
Kedua, peran pemerintah daerah harus diperkuat sampai tingkat terendah di RT/RW. Pemerintah punya otoritas untuk memberi tugas dan mengharuskan level terbawah bergerak mengawasi wilayah. Ketiga, jika perlu menurutnya pendekatan juga bisa melalui pemuka agama.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia Pandu Riono sependapat dengan Ede. Di samping WFH, edukasi terhadap para ASN apalagi masyarakat harus tetap dilakukan. Tanpa perbaikan pada edukasi, sulit mencegah ASN tak tertular lagi lantaran penyebaran COVID-19 bisa terjadi di mana saja.
“Jadi sebenarnya tidak cukup WFH tapi edukasi terus menerus,” kata Pandu. (*)