GELORA.CO - Saat masih jadi anggota DPR dari PKS, Fahri Hamzah bisa dibilang “Macan Senayan”. Kritiknya ke pemerintah, pedas-pedas. Cakarnya selalu menghujam sampai ke jantung terdalam. Tapi, saat bicara soal dinasti politik, Fahri yang sekarang jadi Waketum Partai Gelora, berubah seperti “Meong”. Dia tak ikut barisan yang selama ini memprotes keras tumbuh suburnya dinasti politik di panggung Pilkada.
Hal itu terlihat saat Fahri mendukung penuh pencalonan putra dan menantu Presiden Jokowi: Gibran Rakabuming Raka di Solo dan Bobby Nasution di Medan.
Keputusan resmi dukungan Partai Gelora ke Gibran dan Bobby sudah disuarakan, pekan-pekan lalu. Banyak yang mengkritik sikap partai yang dipimpin Anis Matta, eks Presiden PKS yang juga sobat karib Fahri ini.
Menanggapi kritikan itu, Fahri menegaskan, dukungan tersebut bukan berarti melanggengkan dinasti politik kekuasaan. “Dalam negara demokrasi, tidak akan terjadi dinasti politik,” ujar Fahri, kasih argumen, kemarin.
Fahri melanjutkam, kekuasaan demokratis tidak diwariskan melalui darah secara turun temurun. Tetapi, dipilih melalui prosesi politik. Belum tentu menang, belum tentu kalah.
Eks Wakil Ketua DPR ini menjelaskan, saat ini satu-satunya dinasti politik yang tersisa di Indonesia hanya Dinasti Hamengku Buwono di Yogyakarta. Lalu, Fahri menuding orang-orang yang kontra dengan keputusan Gelora mendukung Gibran dan Bobby tidak mengerti konsep dinasti atau oligarki politik. “Pasti enggak baca itu teori te ori terminologi dinasti politik,” sindirnya.
Fahri juga menyindir, orang-orang yang selama ini meneriakkan dinasti politik, hanya berdasarkan sumber dari media sosial alias medsos. Kemudian berkembang menjadi percakapan di pinggir jalan yang tidak berkualitas. “Orang bodoh itu, tidak hanya di Istana, tapi juga di pinggir jalan, karena tidak berkualitas,” tutur Fahri.
Fahri menyarankan orang-orang yang kontra itu, mempelajari terminologi dinasti politik dengan be nar. Jangan karena kemarahan terhadap Jokowi, mereka mencomot terminologi asal itu di medsos. “Itu tidak bisa kita pertanggungjawabkan di hadapan dunia akademik dan juga di hadapan Allah SWT,” tandasnya.
Sikap Fahri kali ini sungguh berbeda dengan cuitannya di Twitter, pertengahan Oktober tahun lalu. Saat itu, Fahri melontarkan kritik terkait rencana Gibran yang ingin maju sebagai calon Walikota Solo.
Kata dia, selain dianggap belum matang, terjunnya Gibran akan me mun culkan penilaian dari publik bahwa Jokowi ingin membangun dinasti kekuasaan. “Santai ajalah. Berilah tenaga pada reputasi Presiden itu lebih penting sekarang,” cuit @Fahrihamzah, Selasa (8/10/2019).
Gibran dianggap akan membebani reputasi Jokowi jika nekat maju dalam gelaran Pilkada. Fahri mengingatkan, di seputar kekuasaan, feodalisme bisa membakar kredibilitas dan reputasi. Tapi para ‘penjilat’ membuatnya seperti sebuah pelayanan, seolah itu hal yang benar dilakukan. “Jangan mau diolok-olok oleh penjilat yang akhirnya merusak susu sebelanga, mendingan susu dibikin martabak saja. Eman-eman,” imbuhnya.
Perbedaan sikap Fahri ini membuat geram warga dunia maya. Akun @asong66 misalnya, menyindir dengan pantun ria. “Naik delman bareng dakocan, di jalan melindas keong. Fahri Hamzah dulu macan, sekarang jadi meong,” kicaunya.
Ada yang mengaitkan lembeknya Fahri tak lepas dari pemberian bintang kehormatan Mahaputera Nararya dari pemerintah. “Nggak sia-sia pak Jokowi ngasih @Fahrihamzah kaplingan kuburan di makam pahlawan,” sambar @OrangAwak17.
Akun @AgusRiy54156191 mengingatkan, dalam politik tak ada kawan aba di, juga musuh abadi. “Sisakan ruang tidak percaya pada partai politik… Sekelas Fahri yang koar-koar bahaya “feodalisme” aja bisa berubah drastis,” wanti-wantinya.
Sementara sebagian warganet meminta Fahri tak perlu malu-malu menyatakan dukungannya terhadap Jokowi. “Nyebong kok malu-malu,” sindir @BualJoko.
Tapi ada juga yang membela Fahri. “Memang susah untuk meyakini dan menjelaskan walaupun masuk logika dan wajar, kepada orang yang sudah benci. Kebenaran pun ditolak,” bela @jundibireuen. []