Oleh: Tony Rosyid
Kedua tokoh Muhammadiyah dan NU ini didaulat menjadi Presidium KAMI. Dibantu tokoh dari militer yaitu Gatot Nurmantyo.
Muhammadiyah adalah organisasi terbesar kedua setelah NU. Meski kedua tokoh ini tidak secara resmi mewakili organisasi masing-masing, namun representasi dan pengaruhnya tidak bisa diabaikan.
Jika tokoh Muhammadiyah dan NU sudah bersatu dalam langkah, maka dukungan mayoritas rakyat lebih mudah untuk diperoleh. Sejarah mencatat kemenangan Gus Dur di sidang MPR 1999 atas Megawati setelah tokoh Muhammadiyah yaitu Amien Rais memberikan dukungannya. Padahal, nama Gus Dur gak muncul dari awal sebagai capres.
Bersatunya NU dan Muhammadiyah dalam gerakan dan juga politik termasuk barang langka di dalam sejarah negeri ini. Sebab, keduanya memang bukan partai politik. Terutama sejak NU kembali ke khittoh tahun 1984. Masing-masing ormas besar ini punya lahan sosial dan garapan pendidikan yang berbeda.
NU menggarap masyarakat pedesaan dan pendidikan tradisional. Muhammadiyah lebih terkonsentrasi pada masyarakat perkotaan dan pendidikan modern. Selain menggarap juga bidang kesehatan melalui rumah sakit. Bagi-bagi tugas.
Namun, di dalam KAMI, dua tokoh Muhammadiyah dan NU bersatu di garda terdepan. Memimpin gerakan moral, meski harus berhadap-hadapan dengan penguasa. Mirip di MUI. Jika ketuanya dari NU, sekjen dari Muhammadiyah. Begitu juga sebaliknya.
Bersatunya NU-Muhammadiyah di KAMI, mesti diwakili oleh para tokoh non struktural, akan memberi harapan bahwa gerakan KAMI kedepan punya potensi besar. Selama ini, susahnya menyatukan NU-Muhammadiyah dalam satu paket (kebersamaan) gerakan moral karena adanya faktor psikologis yang disebabkan oleh perbedaan paham keagamaan dan ritual diantara mereka. Ketika kedua tokoh ormas besar ini bersatu, lenyap semua sekat-sekat itu. Inilah diantara faktor yang membuat penguasa cukup panik.
Dalam banyak peristiwa politik, kedua ormas ini seringkali sengaja dibenturkan satu dengan yang lain. Terutama jelang pemilu. Pelakunya adalah para politisi. Sebut saja “politisi busuk”. Isunya selalu soal paham keagamaan, mazhab dan ritual. Klasik! Meski klasik, tapi seringkali efektif.
Di KAMI, keduanya menyatu. Tak ada isu yang bisa membenturkannya. Isu Islam kanan, gak mempan. Isu radikalisme dan Khilafah, gak ngefek. Muhammadiyah dan NU dikenal ormas moderat. Gak ke kanan, apalagi radikal. Isu Khilafah itu bukan khas NU dan Muhammadiyah. Jika di Surabaya senen kemarin (28/9) demo menolak KAMI karena dianggap mengusung faham khilafah, itu tandanya para pendemo bangun kesiangan.
Tuduhan kepada KAMI sebagai barisan sakit hati, itu salah sasaran. Gak akan mempan. Sebab, Din Syamsudin dan Rachmat Wahab tak terlibat aktif di politik, terutama pilpres 2019.
Anda mau nuduh kedua tokoh ini punya ambisi jadi presiden? Makin ngaco! Mereka lebih cocok sebagai bapak bangsa. Bukan politisi, apalagi agen dan broker politik. Mereka adalah organisatoris, guru besar, akademisi, ilmuwan dan agamawan yang dalam pikiran mereka berdua hanya ingin bangsa ini selamat. Titik! Gak ada keinginan lain kecuali hanya itu.
Bersyukur KAMI lahir di tengah bangsa yang sedang carut marut. Bersyukur juga KAMI mendapatkan sosok pemimpin seperti Din Syamsudin dan Rachmat Wahab. Sosok yang berintegritas dan punya kapasitas.
Karena itu, tak berlebihan jika mereka berdua dianggap telah merepresentasikan suara mayoritas rakyat Indonesia. Selamat berjuang, semoga di tangan dua sosok ini KAMI mampu memberi arah bangsa yang lebih jelas dan terukur. Selamat dari gelombang masalah akibat kedunguan para nahkodanya. (*)
Jakarta, 30 September 2020