GELORA.CO - Laporan polisi yang dilakukan oleh sekelompok orang yang menamai diri sebagai pendukung Menteri BUMN, Erick Thohir terhadap pendemonya menuai protes dari banyak kalangan.
Protes itu pun juga disampaikan oleh Divisi hukum Aliansi Relawan Jokowi (ARJ), C. Suhadi yang menilai bahwa sikap kritis seharusnya ditanggapi secara bijak dan arif.
"Tidak tanggung-tanggung laporan terhadap demo itu di sikapi dengan Kritis oleh Ketua Umum YLBHI, itu artinya sikap kritis bukan ditanggapi secara bijak dan arif akan tetapi dengan cara pandang tekanan dan barangkali itu menjadi benar seolah-olah demokrasi hendak dibungkam dan dikebiri ditengah-tengah kebebasan itu menjadi pilar terdepan dalam bentuk kebebasan menyampaikan pendapat," ujar C. Suhadi kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (27/9).
Menurut Ketua Umum (Ketum) Negeriku Indonesia Jaya (Ninja) ini, jika Erick dari kacamata yang sempit tidak tahan dikritik sebagai pejabat publik, lebih baik untuk mundur dari jabatannya sebagai Menteri BUMN.
"Karena pemimpin seperti ini tidak pas ada di alam demokratis, dan selanjutnya kembali berkiprah sebagai seorang pengusaha yang punya hak veto terhadap kepimpinannya. Karena dengan Erick sebagai pengusaha menjadi bebas menentukan orang-orang yang suka dan tidak suka dengan cara memecatnya," kata Suhadi.
Karena sambung Suhadi, jabatan publik merupakan jabatan yang diamanatkan oleh rakyat. Sehingga, sebagai pemimpin dalam hal ini memimpin BUMN harus siap dikritik, bahkan siap dimaki jika mempunyai salah dan menyimpang.
"Karena perbedaan pendapat itu menjadi biasa serta logis di ruang publik sepanjang masih dalam wilayah kritik, tidak perlu ditanggapi dengan cara-cara membabi buta dan kalap," jelasnya.
Suhadi pun membandingkan sikap Erick yang berbeda jauh dengan Presiden Joko Widodo. Di mana, Presiden Jokowi bukan hanya dikritik, tetapi sudah jauh dari kritik tersebut yang menjurus ke fitnah.
"Saya sebagai relawan beliau, tetapi beliau hanya menanggapinya dengan dingin dan diam. Demikian juga waktu Pilpres banyak laporan yang saya buat tanpa Pak Jokowi meminta atau marah dengan fitnah tersebut," terangnya.
Salah satunya ialah soal tujuh juga kertas suara yang dicoblos untuk kemenangan capres Jokowi yang sempat viral. Menurut Suhadi, Presiden Jokowi tidak memintanya untuk melaporkan hal tersebut.
"Karena berita tersebut bukan dalam bentuk kritik akan tetapi mengarah pada fitnah, sehingga tindakan tersebut harus dengan jalan melaporkan agar fitnah tersebut dapat diungkap dalangnya dan diproses secara hukum," tuturnya.
"Dan banyak lagi laporan yang dibuat, tapi semua itu adalah sudah melalui kajian hukum bukan emosi asal dulung asal lapor. Dan berkaiatan dengan kritik baik yang menyerang atau nyinyir kepada Presiden bukan dalam ranah laporan polisi akan tetapi biasanya di counter dengan tulisan, ya sebangsa hak jawab dan pelurusan dari ketidakbenaran berita yang disampaikan," sambung Suhadi.
Suhadi pun mengungkapkan bahwa banyak pihak yang tidak suka dengan Erick, termasuk dirinya. Tentunya ketidaksukaan itu menjadi bervariasi dan tidak boleh diukur sama.
"Barangkali yang banyak saya dengar adalah masalah teman-teman yang berjuang di pilpres yang tidak dapat apa-apa dan tidak menjadi apa-apa. Padahal seorang Erick sebelum di tunjuk sebagai menteri oleh presiden terpilih, Bapak Jokowi sudah teriak teriak agar Presiden memperhatikan Relawan yang berkeringat. Nyatanya setelah jadi dan tunjuk menteri, seorang Erick lupa sama ucapannya sendiri, karena kawan-kawan yang sudah berkeringat hampir nyaris tidak dapat apa-apa," bebernya.
Dengan demikian, Suhadi menilai bahwa hal tersebut merupakan sebuah ego yang dijual dan terdapat sebuah frame yang ambigu antara ucapan dan tindakan.
"Apakah begini seorang yang mau digadang-gadang jadi pemimpin?. Maka usul saya kepada aparat hukum agar tidak hanya asal terima laporan. Mereka adalah pejuang di relawan Jokowi yang sedang berekspresi pada dimensi perbedaan dan menjadi sah di negara demokrasi seperti Indonesia," pungkasnya. (Rmol)