GELORA.CO - Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi geram dan marah atas pembabatan hutan dan penggusuran kaum adat di sejumlah wilayah, termasuk Kalimantan Tengah, untuk kepentingan ekonomi jangka pendek.
Dedi mengingatkan semua pihak bahwa pembabatan hutan dan penggusuran kaum adat itu adalah tindakan pengkhianatan terhadap Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebab, menrut Dedi, inti dari Pancasila dan NKRI itu hanya tiga yakni hutan, gunung, dan lautan.
Menurutnya, Pancasila itu adalah jiwa budaya dasar bangsa Indonesia. Kebudayaan Indonesia itu adalah kebudayaan hutan, gunung dan laut.
"Kebudayaan Pancasila itu, manusia terikat secara sosial, emosional dan spiritual pada tanah leluhur untuk kita jaga. Kalau itu tidak dilakukan maka, kita ini ngomong bohong tentang Pancasila dan NKRI," kata Dedi kepada Kompas.com via sambungan telepon, Kamis (3/9/2020).
Menurut Dedi, karena esensi Pancasila itu adalah kaum adat, maka pembabatan hutan dan penggusuran kaum adat adalah sama saja dengan penggusuran Pancasila oleh kaum kapitalisme.
"Saya marah, kok tega ya. Kok orang nggak punya pikiran. Kaum adat itu mempertahankan hutan, itu sama dengan mempertahankan Indonesia, Pancasila dan pembangunan yang berkesinambungan," katanya.
"Saya mengingatkan semua pihak, berdosa pada negara, pada lelehur, dan mengkhianati Pancasila ketika membabat hutan dan menggusur kaum adat. Anda bohong bicara soal Pancasila," lanjut mantan bupati Purwakarta itu.
Dedi mengatakan, sebagai wakil ketua Komisi IV yang membidangi masalah lingkungan, pihaknya meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menyelesaikan masalah pembabatan hutan dan penggusuran kaum adat, seperti yang terjadi di Kalimantan Tengah. Ia minta kaum adat dilindungi karena mereka adalah penjaga sejati hutan Indonesia sebagai urat nadi kehidupan.
"Saya minta Kementerian Lingkungan Hidup mengambil langkah penanganan masalah tersebut. Harus ada tindakan nyata mencegah penghabisan areal hutan yang masih tersisa di Kalteng," kata Dedi.
Dedi mengatakan, pihaknya bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga akan memantau ke sana separah apa perusakan hutan di daerah itu.
Masalah niat
Soal pembabatan hutan dan penggusuran kaum adat untuk kepentingan perkebunan sawit di Kalimantan Tengah, Dedi mengatakan karena masalah tidak adanya peraturan daerah soal pemberian hutan sosial atau hutan adat.
Namun bagi Dedi, dasar keberpihakan pada konservasi lingkungan dan keberlanjutan hutan itu bukan hanya pada aspek yang bersifat normatif, tetapi juga kultur dan niat atau keinginan semua pihak, termasuk pemimpin di daerah tempat hutan itu berada.
Menurut Dedi, jika pemimpin pada sebuah wilayah, mulai bupati, wali kota sampai kepala desa memiliki keterikatan secara moaral, sosial dan spiritual pada alam, jangankan yang dilarang, yang diperbolehkan pun menurut rencana tata ruang dan rencana tata wilayah (RT/RW), dia akan mempertahankan alamnya.
Tetapi sebaliknya, manakala tidak punya keberpihakan secara emosional, sosial, dan spiritual, jangankan yang dipebolehkan, yang dilarang pun akan digarap.
Konflik agraria
Sebelumnya, Komite Pembaharuan Agraria (KNPA) menyebut ada enam warga adat yang dikriminalisasi, yakni ketua komunitas adat Laman Kinipan di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, Effendi Buhing dan lima warga adat lainnya masing-masing Riswan, Yefli Desem, Yusa (tetua adat), Muhammad Ridwan dan Embang.
Mereka ditahan karena melakukan pembelaan diri karena hutan mereka ditebang untuk dijadikan lahan perkebunan sawit.
Ketua Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria (TPPKA) dari Kantor Staf Presiden (KSP), Abtnego Tarigan menyatakan, pihaknya sudah berupaya menyelesaikan konflik tersebut. Namun upaya itu gagal karena pemerintah daerah mempersulit penyelesaian.
Menurut data Konsorsium Pembaharuan Agraria, dari Maret hingga awal Juli 2020, terjadi 28 kinflik agraria di Indonesia. Konflik tersebut disertai dengan tindakan kriminalisasi.
Sementara berdasarkan data TPPKA-KSP, konflik agraria dari 2016 hingga 2018 melibatkan 176.132 kepala keluarga dan 1.457.084 hektare lahan. (*)