GELORA.CO - Ketika sebagian besar negara Eropa berjuang membendung gelombang kedua infeksi virus corona, seorang profesor Denmark mengklaim bahwa pandemi global itu "mungkin telah usai" di Swedia, berkat herd immunity atau kekebalan kelompok.
Pada Kamis (17/9/2020) Swedia mencatat 224 kasus Covid-19, angka yang kira-kira setara dengan infeksi baru setiap hari selama dua bulan terakhir tanpa ada pasien yang meninggal.
Situasi itu berbeda dengan di sebagian besar Eropa di mana 300.000 kasus tercatat di seluruh Benua Biru pekan lalu. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut lonjakan infeksi itu sebagai "peringatan".
Bahkan tetangga Swedia, Denmark, mengalami rata-rata 61 kasus per juta orang sepanjang minggu, dibandingkan dengan 23 kasus per juta di Swedia yang relatif rendah. Hal itu membuat Kim Sneppen, seorang profesor biokompleksitas di Institut Niels Bohr Kopenhagen percaya bahwa Swedia akhirnya mengembangkan 'kekebalan kelompok' terhadap virus mematikan tersebut.
"Ada indikasi bahwa Swedia telah memperoleh unsur kekebalan terhadap penyakit, yang, bersama dengan segala hal lain yang mereka lakukan untuk mencegah penyebaran infeksi, sudah cukup untuk menekan penyakit itu," kata Sneppen kepada Politiken pekan ini.
Ketika persentase tertentu dari populasi telah terinfeksi virus, pulih, dan menjadi kebal, virus tidak dapat lagi menemukan cukup inang baru untuk disebarkan. Pada titik ini, populasi telah mencapai 'kekebalan kelompok' terhadap virus.
Biasanya, 60 persen dari populasi harus terinfeksi untuk mencapai titik ini, tetapi ahli matematika Universitas Stockholm Tom Britton mengatakan kepada Politiken bahwa “kekebalan 20 persen membuat perbedaan yang cukup besar.”
Kekebalan kelompok adalah konsep kontroversial di awal pandemi virus corona. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dikecam di media karena menyarankan bahwa Inggris dapat menerima virus secara langsung dan menderita lonjakan kematian jangka pendek sebagai ganti kekebalan kawanan dalam jangka panjang.
Diwartakan RT, Swedia adalah satu-satunya negara Eropa yang menerima gagasan ini, dan memilih untuk tidak menerapkan penguncian. Pertemuan lebih dari 50 orang dilarang, dan para lansia disuruh tinggal di rumah. Penggunaan masker tidak direkomendasikan, dan bar, restoran, sekolah, dan bisnis tetap buka.
Warga diminta untuk mempraktikkan jarak sosial dan bekerja dari rumah jika memungkinkan.
Denmark, sebaliknya, adalah salah satu negara Eropa pertama yang memberlakukanlockdown terhadap warganya. Semua sekolah ditutup dan pekerja non-esensial diperintahkan untuk tinggal di rumah. Pertemuan lebih dari sepuluh orang dilarang, dan pusat perbelanjaan, bar, restoran, dan bisnis yang berhubungan dekat seperti salon dan pusat kebugaran ditutup.
Pembatasan itu dicabut pada Juni, tetapi negara itu telah mengalami lonjakan infeksi baru. pada Jumat (18/9/2020) Denmark melaporkan 454 kasus Covid-19, jumlah harian tertinggi sejak pandemi dimulai.
Meski dianggap telah mendapatkan kekebalan kelompok, Swedia membayar harga yang cukup mahal dengan 580 kematian per juta yang dialami negara itu akibat Covid-19. Angka itu lima kali lebih tinggi dari 109 kematian per juta yang dialami Denmark.
"Itulah yang telah mereka bayarkan. Sisi positifnya, mereka sekarang mungkin sudah selesai dengan epidemi," kata Sneppen.
Namun demikian, tingkat kematian Swedia masih lebih rendah daripada beberapa negara yang menerapkan penguncian yang ketat, seperti Spanyol dan Inggris, dengan masing-masing 652 dan 614 kematian per juta.
Terlepas dari jumlah korban tewas, pekan lalu kepala ahli epidemiologi Swedia, Anders Tegnell, mengatakan kepada France24 bahwa negara itu senang dengan strategi yang mereka terapkan. (*)