GELORA.CO - Rencana PT Pertamina Persero menghapus BBM jenis Premium dan Pertalite dinilai sebagai sebuah langkah yang tidak peka terhadap kondisi masyarakat yang tengah menghadapi pandemik Covid-19.
Demikian disampaikan anggota Komisi IX DPR RI fraksi PKS, Netty Prasetiyani Aher dalam keterangannya, Rabu (2/9).
"Pemerintah tidak peka pada penderitaan rakyat. Saat ini daya beli serta pendapatan masyarakat menurun. Banyak masyarakat yang tidak berpenghasilan karena di-PHK atau dirumahkan, kenapa pemerintah justru ingin menghapus premium dan pertalite?" ujar Netty Prasetyani.
"Artinya pemerintah memaksa rakyat untuk membeli pertamax yang harganya lebih mahal," imbuhnya.
Netty mengatakan, masih banyaknya rakyat Indonesia yang berada di garis kemiskinan seharusnya Pertamina tidak lantas mengeluarkan kebijakan penghapusan BBM jenis Premium dan Pertalite. Sebab, hal itu diyakini akan semakin membebani masyarakat.
"Perlu dicatat bahwa penghapusan BBM jenis premium dan pertalite akan berdampak pada banyak hal, antara lain, kemungkinan harga-harga akan turut naik dan ini akan semakin memberatkan keluarga pra-sejahtera. Padahal ada sekitar 17 persen keluarga pra-sejahtera di Indonesia yang butuh bantuan pemerintah, bukan justru dibebani" tuturnya.
Diketahui, rencana penghapusan dua jenis BBM yang memiliki Research Octane Number (RON) di bawah 92 ini dibahas dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Pertamina dan Komisi VII DPR RI pada Senin (31/8/2020).
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, penyederhanaan produk bahan bakar minyak (BBM) mengikuti ketentuan dalam Peraturan Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 20 Tahun 2019 yang mensyaratkan standar minimal RON 91.
Atas dasar itu, istri dari mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan ini meminta pemerintah mengkaji ulang rencana tersebut mengingat masih banyak rakyat yang menggunakan premium dan pertalite untuk kegiatan sehari-hari.
Skema bantuan sosial dari pemerintah, baik berupa uang tunai, subsidi upah, kartu pra kerja atau bentuk apa pun, akan menjadi tidak bermakna. Bantuan itu kan untuk meningkatkan daya beli masyarakat, jika harga kebutuhan makin tinggi, bagaimana masyarakat bisa membeli? Ini kan sama saja pepesan kosong," demikian Netty. (Rmol)