GELORA.CO - Malaysia baru-baru ini mengundang sorotan dunia dengan "penggung politik"-nya yang kembali menghangat. Adalah Anwar Ibrahim, tokoh oposisi kawakan di negeri jiran yang kembali muncul ke hadapan publik dengan klaim bahwa dia siap membentuk pemerintahan baru dengan mengumpulkan mayoritas parlemen.
Klaim Anwar sempat memicu ketidakpastian politik di tingkat federal. Meski begitu, Perdana Menteri Muhyiddin Yassin meragukan klaim tersebut. Sejumlah pengamat d Malaysia juga ada yang menilai bahwa klaim Anwar tidak lebih dari sekedar "gertak sambal" belaka.
Terlebih, hasil pemilu yang digelar di negara bagian Sabah pekan lalu menunjukkan bahwa koalisi Gabungan Rakyat Sabah (GRS) yang didukung oleh Muhyiddin berhasil mengumpulkan suara mayoritas. Meski bukan penentu, namun pemilu di Sabah merupakan momen yang sangat penting di perpolitikan Malaysia.
Akan tetapi, jika kita mau merunut kembali momen politik di Malaysia ke belakang, "menghangatnya" panggung politik di Malaysia telah terjadi setidaknya sejak Mahathir Mohammad memutuskan untuk mundur dari kursi Perdana Menteri Malaysia pada 24 Februari lalu.
Setelah mundurnya Mahathir, Raja Malaysia Yang-di-Pertuan Agong Sultan Abdullah Sultan Ahmad Shah kemudian menunjuk kembali Mahathir sebagai Perdana Menteri interim.
"Pada saat itu, untuk menjaga agar kekuasaan tidak vakum, maka perdana menteri interim ditunjuk, tugasnya adalah untuk menyiapkan proses-proses politik berikutnya," kata Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional, Dr. Sudarnoto Abdul Hakim dalam diskusi mingguan RMOL World View yang diselenggarakan oleh Kantor Berita Politik RMOL.ID berajuk "Rebutan Kursi Perdana Menteri Malaysia" (Senin, 28/9).
Namun, di tengah situasi tersebut, muncul "drama" politik lainnya di Malaysia.
"Tapi di tengah-tengah situasi itu, Muhyiddin yang juga termasuk kadernya Mahathir, membelot dan dengan partai yang dia buat sendiri dia memanfaatkan situasi tersebut supaya dia memperoleh keuntungan politik," jelasnya.
Sudarnoto menjelaskan bahwa pada saat itu, Yang-di-Pertuan Agong Sultan Abdullah Sultan Ahmad Shah kemudian memanggil satu persatu anggota parlemen dan menanyakan soal siapa tokoh yang mereka anggap layak duduk di kursi Perdana Menteri selanjutnya. Mayoritas dari mereka pun menyebut nama Muhyiddin.
"Ini adalah hal yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Malaysia," jelas Sudarnoto.
Tidak disangka, Raja Malaysia pun kemudian memutuskan untuk sepakat bahwa Muhyiddin akan menjadi perdana menteri selanjutnya.
"Di momen ini, Mahathir merasa ditikung oleh Muhyiddin karena dia diam-diam mengumpulkan dukungan di parlemen. Itu yang disebut dengan politik pintu belajang," jelas Sudarnoto yang juga merupakan Associate Professor FAH UIN Jakarta.
Keputusan itu pun menjadi momentum bersejarah tersendiri bagi Malaysia.
"Ini preseden pertama dalam sejarah Malaysia, di mana pemerintahan negara yang disahkan oleh Yang-di-Pertuan Agong tidak melalui pemilu," papar Sudarnoto.
"Muhyidin sama saja seperti melakukan kudeta dalam kekosongan dengan memanfaatkan kelemahan Mahathir," sambungnya.
"Itu adalah hasil dari gabungan antara nasib baik, rencana, trik-trik politik dan juga strategi (yang dilancarkan Muhyiddin)," ujar Sudarnoto.
Namun belum lama duduk di kursi Perdana Menteri, Muhyiddin kembali dihadapkan dengan ujian politik yang kali ini datang dari Anwar Ibrahim.
Meski tampaknya dia memandang sebelah mata klaim Anwar dan pemilu di Sabah menunjukkan bahwa pihaknya unggul, namun belajar dari sejarah, perpolitikan di Malaysia kerap kali penuh dengan kejutan.
"Kita lihat saja ke depannya, apakah Muhyiddin dapat melenggang terus di kursi perdana menteri atau tidak," demikian Sudarnoto. (Rmol)