GELORA.CO - Sikap intoleran di beberapa daerah di Indonesia masih terus berlangsung di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Direktur Riset Setara Institute, Halili Hasan menerangkan, perilaku intoleransi yang dia catat kebanyakan dilakukan pemerintah daerah berupa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB).
"Dalam periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, pemerintah daerah merupakan aktor negara yang paling banyak menjadi pelaku pelanggaran KBB dengan 157 tindakan," ujar Halili dalam siaran pers yang diterima Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (29/9).
Ratusan tindak pelanggaran KKB tersebut di antaranya dalam bentuk tindakan langsung (violation by commission), peraturan intoleran dan diskriminatif (violation by rule), maupun pembiaran (violation by omission).
Bahkan perilaku seperti itu diakui kembali marak jelang setahun pemerintahan Joko Widodo-Maruf Amin. Di mana, berbagai pelanggaran KBB dan ekspresi intoleransi menunjukkan peningkatan intensitas, paling tidak dalam sebulan terakhir ini.
Misalnya, yang terjadi pada 1 September lalu. Terdapat pelarangan pembangunan fasilitas rumah dinas pendeta di Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) Kecamatan Napagaluh, Kabupaten Aceh Singkil.
Kemudian tanggal 13 September 2020 terjadi gangguan sekelompok orang intoleran atas ibadah terhadap jemaat HKBP KSB di Kabupaten Bekasi dan pada 20 September 2020 yang terjadi penolakan ibadah dari sekelompok warga Graha Prima Kecamatan Jonggol Kabupaten Bogor terhadap jemaat dari Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI).
Adapun pada 21 September 2020 juga terjadi pelarangan ibadah bagi umat Kristen di Desa Ngastemi, Kecamatan Bangsal, Kabupaten Mojokerto.
"Potret tersebut memperkuat fenomena umum terjadinya peningkatan tindakan intoleransi dan pelanggaran KBB di Indonesia. Sejak tahun politik nasional 2019, ada kecenderungan peningkatan ekspresi intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok agama minoritas," ungkap Halili.
Sepanjang tahun lalu, tercatat 200 peristiwa pelanggaran KBB dialami masyarakat minoritas. Persoalan itu membuat Setara Institute mengutuk keras setiap tindakan yang menghalang-halangi penikmatan hak konstitusional setiap warga untuk beragama dan beribadah.
"Tindakan demikian tidak dapat dibenarkan dan nyata-nyata melanggar hak konstitusional atas KBB yang dijamin oleh UUD 1945, khususnya Pasal 28E Ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 Ayat (2) UUD NRI 1945," beber Halili.
Lebih lanjut, Halili menuntut pemerintah untuk hadir menjamin dan melindungi hak konstitusional masyarakat minoritas, khususnya untuk bebas berekspresi dalam beribadah.
Secara khusus, Setara Institute mendesak Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian untuk mengambil tindakan yang memadai, lebih progresif, dan sesuai dengan otoritas legal dan demoratik untuk menjamin tata kelola pemerintahan daerah yang inklusif dan toleran dalam kebinnekaan.
"Dalam catatan Setara Institute sejak 2007, salah satu persoalan terbesar intoleransi dan pelanggaran KBB di Indonesia terletak pada level negara. Pemerintah selama ini lebih sering absen ketika kelompok minoritas diintimidasi, direstriksi, didiskriminasi, bahkan dipersekusi," tutupnya. (Rmol)