GELORA.CO - Terdakwa Pinangki Sirna Malasari diduga mencatut nama pejabat Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung (MA) dalam upaya mengurus pengajuan fatwa MA untuk membebaskan Djoko Tjandra
Dalam surat dakwaan yang dibacakan sidang perdana yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat terhadap Pinangki Sirna Malasari terungkap sebuah rencana membebaskan Djoko Tjandra dari jeratan hukum melalui action plan atau semacam proposal untuk kepengurusan mendapatkan fatwa bebas dari Mahkamah Agung.
Ada 10 poin rencana kerja dalam proposal tersebut, didalamnya mencatut sejumlah pejabat tinggi seperti Jaksa Agung, ST Burhanuddin dan Hatta Ali sebagai Ketua Mahkamah Agung.
Namun, proposal action plan yang dibuat itu tidak berjalan mulus. Setelah menimbang rencana tersebut Djoko Tjandra menilai ada beberapa poin yang tidak masuk akal dan merasa tidak akan bisa menyelamatkanya dirinya dari eksekusi pidana penjara kasus pengalihan hak tagih Bank Bali.
Lalu, Djoko Tjandra membatalkan kelanjutan action plan itu karena merasa sudah tertipu.
Pakar hukum pidana Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad mengatakan, di tengah situasi yang serba transparan, action plan Pinangki dianggap tidak rasional dan sekedar karangan yang sengaja dibuat-buat.
“Menurut saya lebih dominan kepada peran Pinangki itu sendiri, karena logikanya disebuah situasi yang serba transparan seperti inikan bermain-main kasus itukan akan sangat rentan," kata Suparji dalam keterangannya, Seni (28/9).
"Jadi karena kelihaian, karena kecanggihan, karena mungkin keinginan-keinginan dari Pinangki tadi itu lah yang kemudian mengarang cerita tadi itu, yang sesungguhnya, sebetulnya tidak terlalu rasional, jadi memang lebih banyak faktor kepada individu yang bersangkutan,” imbuhnya menambahkan.
Suparji menambahkan, dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan dalam proses pembuktian nanti, diharapkan membuat terang benderang tentang action plan yang dimaksudkan seperti apa. Sehingga masyarakat menjadi tahu, dan juga mengidentifikasi rekam jejak dari Pinangki itu sendiri.
“Artinya kalau memang ini murni yang bersangkutan karena memang mungkin sudah terbiasa dilakukan sebelum-sebelumnya atau karena hanya ini saja, lalu memang seandainya diketahui, tentang rekam jejak dari Pinangki yang seperti tadi maka berarti memang itu murni dari yang bersangktuan,” bebernya.
Suparji meminta action plan itu juga harus dibuktikan secara hukum apakah disusun oleh Pinangki sendiri atau dibuat secara bersama-sama.
“Action plan itu kan yang harus dilihat adalah siapa yang menyusun, kalau kemudian yang menyusun itu adalah Pinangki sendiri maka dia lah yang harus bertanggung jawab, kalau kemudian action plan itu disusun secara bersama-sama misalnya dengan nama-nama yang disebut dan nama-nama yang disebut tadi itu adalah tahu atas action plan tadi itu, maka ya mereka harus diminta pertanggungjawaban,” urainya.
Lanjut Suparji, action plan yang tidak terlaksana itu sudah terdapat mens rea atau niat jahat, maka ada konsekuensi hukum yang harus diterima pelaku.
“Bahwa action plan plan itu tidak terlaksana maka berartikan sudah ada mens rea sudah ada niat jahat, maka tentunya ini ada konsekuensi hukumnya ada pertanggungjawaban hukumnya, apa lagi gagalnya mens rea tadi, gagalnya action plan tadi itu, bukan karena yang bersangkutan menggagalkan rencana tadi, tapi karena ada diketahui oleh pihak lain,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Suparji menyatakan kasus Pinangki ini dapat menjadi momentum Kejaksaan Agung untuk melakukan bersih-bersih dari oknum yang suka bermain-main dengan hukum dengan menjual nama ke pihak yang sedang dalam perkara hukum.
“Menurut saya ini menjadi momentum yang baik, bagi Kejaksaan Agung untuk bersih-bersih terhadap orang-orang atau terhadap internal mereka yang suka jual-jual nama, yang suka catut-catut nama," pungkasnya. (Rmol)