GELORA.CO -Sebanyak 37 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mundur dalam kurun waktu satu tahun ini. Eks pimpinan KPK Busyro Muqoddas menyoroti revisi UU KPK hingga seleksi pimpinan KPK.
"Pertama tidak bisa lepas dari kebijakan pemerintah dan DPR tentang revisi UU KPK. Proses revisi UU KPK itu kan proses yang secara demokratis melanggar tata krama baik prosedurnya maupun substansinya," kata Busyro saat dihubungi wartawan, Sabtu (26/9/2020).
"KPK sendiri kan tidak pernah diundang sebagai pihak yang berkepentingan oleh istana. Pada periode Agus Rahardjo tidak pernah diundang," sambungnya.
Busyro kemudian membandingkan soal wacana revisi UU KPK di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kala itu, SBY menerima masukan dari para pimpinan lembaga antirasuah itu.
"Dulu sudah ada rencana revisi tapi kita datangi menteri kehakiman waktu itu kami beri masukan. Oleh SBY diterima kemudian ditunda revisi itu," ungkapnya.
Busyro menyebut perbandingan era pemerintahan SBY dengan Jokowi itu berdampak pada psikologis di tubuh KPK. Sselain itu, selama ini sistem yang ada di KPK egaliter bukan sistem komando seperti di kepolisian atau pun kejaksaan.
"Teman-teman di KPK itu melihat kultur KPK yang independen, suasana egaliterier yang bukan sistem komando di kepolisian dan kejaksaan tapi sistem profesional, independen dan setara, semuanya diuji dalam ekspose yang diikuti oleh kalangan yang berkompeten," urainya.
Kehadiran UU KPK yang baru inilah yang menurut Busyro membuat suasana di dalam KPK menjadi tidak kondusif. Menurutnya di UU KPK yang baru itu terlalu banyak mengatur sehingga mempersempit ruang gerak KPK.
"Nah di UU baru itu ada dewan pengawas (dewas). Akan penyadapan, akan penyitaan dan sebagainya itu harus izin dewas. Izin perlu banyak waktu dan ini sangat mengganggu, terlambat satu jam kalau OTT sudah lepas, satu jam telat, hilang momentumnya," keluhnya.
"Itu lah yang kemudian oleh teman-teman kami baca dari luar tapi kami komunikasi juga dengan teman-teman KPK, itu suasanya setelah UU baru, suasana yang sungguh tidak enak," sambung Busyro.
Kemudian, gejala kedua yang memicu keluarnya pegawai KPK yaitu terkait seleksi pimpinan KPK. Menurut Busyro banyak intrik yang menyertai proses seleksi pimpinan lembaga antirasuah itu.
"Kedua diikuti dengan seleksi pimpinan KPK yang didahului dengan permainan isu seperti operasi intelijen, misalnya KPK sarang taliban itu, kemudian seleksi pimpinan KPK melibatkan BNPT tentang radikalisasi itu," papar Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM itu.(dtk)