GELORA.CO - Ternyata taring runcing Amerika Serikat sebagai pedagang alat-alat perang bagi militer negara-negara dunia mulai rontok satu persatu.
Berbagai ancaman bermodus payung hukum yang diterbitkan Amerika untuk mengekang negara-negara dunia agar terjerat dalam aturan bisnis senjata tak lagi menjadi sebuah hal yang menakutkan.
Negara-negara dunia mulai menyadari bahwa berbisnis senjata dengan Amerika hanya membuat mereka terjebak pada aturan monopoli bisnis senjata yang tak berujung.
Bagaimana tidak, dalam beberapa aturan hukum yang diterbitkan Amerika untuk menguasai bisnis senjata dunia sudah dirasakan dampak meruginya.
Dua negara yang terbaru menyadari hal itu ialah Jerman dan Prancis. Kedua negara Eropa ini akhirnya dengan bulat menyatakan menghentikan kerjasama senjata dengan Amerika. Mereka menyatakan tak mau lagi membeli alat perang dari AS.
Dikutip dari koran terbitan Jerman Wlet am Sonntag, Jerman dan Prancis merasakan dampak buruk dari berbisnis senjata dari Amerika. Selama menjadi pelanggan senjata Amerika, kedua negara itu merasakan bagai seekor kerbau yang dicucuk lubang hidungnya.
Bagaimana tidak, meski peralatan militer telah mereka beli dan menjadi hak mereka. Namun, mereka tak mudah untuk bisa menjualnya lagi ke negara lain. Padahal peralatan perang yang dibeli sudah harus dimodernisasi dan masih bisa menghasilkan uang jika dijual untuk membeli senjata baru.
Belum lagi masalah teknologi, membeli persenjataan Amerika sama saja tak akan pernah bisa sepenuhnya menguasai teknologinya. Sebab jangankan teknologinya, suku cadang saja hanya bisa dibeli dari Amerika.
Yang paling tak enaknya, data negara pemakai teknologi senjata Amerika bagai ditelanjangi. Tak ada data militer yang jadi rahasia, padahal data keamanan sebuah negara merupakan hal yang tabu diketahui negara lain. Intelijen saja harus bekerja keras untuk bisa mendapatkan data keamanan negara.
Selama ini Jerman dan Prancis serta negara Eropa dibelenggu Amerika dengan taktik licik, Amerika menerbitkan Peraturan Lalu Lintas Internasional (ITAR) untuk mengendalikan perdagangan senjata Benua Biru.
"Tanpa ITAR dan sistem peraturan AS lainnya, Eropa mendapat lebih banyak kebebasan dalam siapa yang memasok dengan produk militer," kata Florent Chauvancy, direktur penjualan Departemen Mesin Helikopter dari pabrikan Prancis Safran.
Jerman dan Prancis tak mau selamanya dibodohi, uang yang beredar dalam perdagangan senjata bukan recehan. Lihat saja bagaimana Amerika bisa hidup dan maju dengan meraup keuntungan dari bisnis senjata.
"Salah satu keuntungan dari produk 100 persen buatan Eropa adalah bahwa data perusahaan ini tetap di Eropa dan tidak jatuh ke tangan negara-negara non-Eropa," ujar Chauvancy.
Kini Jerman dan Prancis akan memulai hidup baru sebagai negara yang merdeka dari jajahan bisnis senjata Amerika. Mereka berencana memproduksi senjata produksi dalam negeri.
Lain lagi dengan negara di luar Eropa, Mesir misalnya. Raja Militer Afrika ini juga mulai berani melepaskan diri dari jeruji egoisme Amerika. Terbukti, walau mendapat ancaman yang mengerikan dari Amerika, Negeri Firaun tetap nekat melanjutkan kesepakatan pembelian senjata dari rival terberat Amerika, Rusia.
Mesir baru saja memborong jet tempur multiperan Sukhoi Su-35. Tak tanggung-tanggung lebih dari 20 Su-35 yang dibeli Mesir dalam kesepakatan dengan Kremlin. Bahkan, dalam waktu dekat ini lima di antaranya akan segera menjadi keluarga Angkatan Bersenjata Mesir.
Uang yang digelontorkan Mesir untuk memborong jet perang Rusia itu tak sedikit lho, dalam kesepakatan yang ditandatangani kedua belah pihak pada 2019, tercatat angka nominal pembelian Su-35 sebesar lebih dari 2 miliar Dollar Amerika.
Selama proses negosiasi bahkan jauh sebelumnya, Amerika telah nyinyir akan menjatuhkan sanksi kepada Mesir jika sampai benar-benar membeli senjata dari Rusia. Tak cuma sanksi saja, Amerika juga mengancam tak mau lagi memenuhi permintaan Mesi jika di kemudian hari membutuhkan senjata dari Amerika.
Yang lucunya, padahal Amerika lebih banyak mendapatkan uang dari Mesir terkait alat perang. Mesir membeli 43 unit helikopter serbu canggih Apache sebanyak 43 unit, mau tahu berapa harganya? 2,3 miliar Dollar Amerika. Itu belum lagi pesawat tempur lainnya seperti General Dynamics F-16 Fighting Falcon, F-4 Phantoms.
Tak cuma peralatan perang di langit, sebelumnya Mesir juga memborong 500 unit tank berjuluk Raja Perang Darat yakni Tank T-90MS dari Rusia. Kontraknya disepekati pada Juni 2020. Enaknya bagi Mesir, Rusia mau berbagi teknologi agar si pembeli bisa memproduksi sendiri.
Nah sekarang saatnya kita bahas tentang Indonesia. Apakah Indonesia bernasib sama dengan negara-negara lain di dunia dalam hal pengadaan persenjataan untuk memperkuat Tentara Nasional Indonesia?.
Kabar yang masih hangat disoroti ialah tentang nasib rencana Indonesia untuk membelikan TNI alat perang baru sebagai upaya modernisasi ala utama sistem persenjataan atau alutsista demi menjaga wilayah teritorial RI dari sengatan bangsa luar.
Awal tahun 2020, Indonesia sudah ramai diperbincangkan akan segera memiliki penjaga langit baru dari Rusia. Malah yang dibeli Indonesia juga sama dengan Mesir, yakni Sukhoi Su-35.
Hanya ke sini-sini nasib Su-35 itu semakin tak tak jelas. Menteri Pertahanan, Letnan Jenderal (purn) Prabowo Subianto seperti sedang dihantam badai bimbang dalam mendatangkan Su-35 ke Tanah Air.
Memang sih hingga detik ini belum ada kepastian apakah Indonesia batal mendapatkan Su-35 atau tidak. Tapi ya, yang terbaru Prabowo malah menyurati Menteri Pertahanan Austria dan menyampaikan niat untuk memborong 15 unit jet tempur buatan Eropa, Eurofighter Typhoon.
Publik juga bertanya, jadi enggak sih TNI punya Su-35 untuk meremajakan jet tempur F-5 Tiger Amerika yang sudah renta setelah 40 tahun dipakai? Kok malah cari-cari pesawat tempur jenis lain ke negara lainnya?.
Sebagai Raja Militer Asia Tenggara, Indonesia telah membahas pengadaan Su-35 dengan Rusia jauh dibandingkan Mesir. Indonesia dan Rusia sudah berbicara sejak Agustus 2017, ketika itu Menhan RI masih dijabat Jenderal TNI (purn) Ryamizard Ryacudu.
Dan perjanjian akhirnya disepakati pada Februari 2018, dengan klausal bahwa Indonesia membeli 11 unit Su-35 dan sebagai timbal balik Rusia membeli hasil bumi Nusantara seperti minyak sawit, karet, teh, kopi, furnitur dan rempah-rempah.
Total dana yang harus dikeluarkan RI sebesar 1,14 miliar Dollar Amerika dan Rusia membelanjakan 50 persennya yaitu sebesar 70 juta Dollar Amerika ke Indonesia.
Dari perjanjian itu disebutkan 11 Su-35 akan mendarat di Indonesia bulan Oktober 2018 tapi batal dan direncanakan dikirim Oktober 2019, hanya saja batal lagi hingga saat ini. Pesawat tempur itu direncanakan akan tiba di Indoensia dalam dua tahap yakni tahap pertama sebanyak delapan unit dan sisanya di tahap kedua.
11 unit Su-35 rencananya awalnya bakal ditempatkan di Skadron 11 di Pangkalan TNI AU, Sultan Hasanuddin di Makassar, Sulawesi Selatan. Di pangkalan itu toh juga sudah ada dua varian Sukhoi, Su-27 dan Su-30MK2.
Kembali lagi, memang hingga saat ini belum ada pernyataan resmi dari kedua belah pihak untuk membatalkan perjanjian itu dan bisa saja bulan Oktober 2020 jet tempur yang disepakati tiba di Makassar. Memang ada media luar sana yang memuat informasi bahwa perjanjian telah dibatalkan. Sayangnya informasi itu masih simpang siur kebenarannya.
Dan Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Vorobieva menyatakan perjanjian masih berjalan dan akan segera dituntaskan.
"Rencana ini tidak dibatalkan. Sejauh ini kontrak sudah ditandatangani dan akan diimplementasikan," kata Lyudmila Vorobieva
Kantor berita Kommersant pernah mencari tahu kelanjutan dari perjanjian Indonesia dan Rusia. Dalam pemberitaannya disebutkan ada batu sandungan yang masih dibahas agar dicari solusinya terkait pengadaan Su-35.
Sebab dikabarkan Amerika mengusik perjanjian itu dan mengancam Indonesia dengan menggunakan hukum buatan mereka sendiri yakni Countering America's Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA).
Dalam CAATSA itu disebutkan Amerika akan menjatuhkan sanksi kepada negara manapun di dunia yang bekerjasama dengan Rusia, Korea Utara dan Iran.
Dalam salah satu poin dalam Undang-undang yang disahkan Senat Amerika pada 27 Juli 2017 disebutkan bahwa UU tersebut memberikan sanksi untuk kegiatan yang menyangkut transaksi dengan sektor pertahanan atau intelijen Rusia.
Untuk membeli senjata dari Rusia, semua negara secara resmi melalui Rosoboronexport. Karena Rosoboronexport merupakan agen perantara tunggal resmi Rusia dalam hal ekspor alat sistem pertahanan. Dengan jalur kerjasama ini maka semua negara yang berhubungan dengan Rosoboronexport otomatis tersandung CAATSA.
Sejauh ini tak cuma TNI sebagai pihak yang bakal memakai Su-35 yang jadi korban atas aturan dunia ala Amerika itu. Namun juga India dan Vietnam. Meski yang terbaru dikabarkan sedang ada upaya untuk melonggarkan aturan itu bagi ketiga negara tersebut.
Di sisi lain, sebenarnya juga Rusia dikabarkan mengalami kendala dalam masalah transfer uang pembelian dari Indonesia, dalam perjanjian itu disebutkan menggunakan skema kredit melalui alokasi dana ke salah satu bank komersil. Cuma bank itu terancam kena sanksi dari Amerika karena bekerjasama dengan Rosoboronexport.
Indonesia sih kayaknya masih mending deh, tengok saja India. Sejak April 2018 Rusia belum terima pembayaran sebagian perjanjian kontrak senjata dengan India karena tersandung aturan yang dibuat-buat Amerika itu.
Kocaknya lagi, Amerika dikabarkan merayu Indonesia agar membeli jet tempur milik mereka saja dan membatalkan perjanjian dengan Rusia. Sebagai iming-imingnya, Amerika menawarkan F-16 Viper.
F-16 Viper memang canggih. Hanya saja, kembali mengingatkan bahwa Jerman dan Prancis saja sudah tak mau lagi memakai produksi militer Amerika. Selain itu juga Indonesia sudah memiliki infrastruktur untuk merawat Sukhoi.
Dengan melihat masalah ini, semua keputusan bisa saja berbeda ujungnya. Jika terus berlarut-larut tentu saja TNI jadi korbannya sudah 2 tahun lebih nih tertunda.
Tapi, tunggu dulu bukan tak mungkin tiba-tiba saja di Hari Ulang Tahun TNI ke 75 yang jatuh pada 5 Oktober 2020, Su-35 terbang di langit Indonesia. Semoga saja. []