GELORA.CO - MEMANG ada masalah, ketika tim pemulihan ekonomi dipindahkan ke Menteri Koordinator Bidang Ekonomi sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto, yand didampingi ketua pelaksana seorang pengusaha muda sukses supertajir yang sekarang menjadi menteri BUMN, Erick Tohir.
Masalahnya adalah tidak disertai dengan regulasi yang memadai. Sehingga dapat membuat pemerintah kehilangan fokus, dan sumber keuangan bagi pemulihan akan tersendat.
Tadinya, ketua tim pemulihan ekonomi adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani, sebagaimana Perpu No 1 Tahun 2020 dan UU No 2 Tahun 2020. Namun tampaknya Sri Mulyani, sang menteri keuangan Jokowi, sudah menyerah.
Bisa jadi karena uang tidak ada, utang tidak sesuai dengan harapan atau target. Jumlah senilai Rp 1.039 triliun utang baru yang diharapkan tahun ini ibarat jauh panggang dari api.
Semester II tahun ini pemerintah tak lagi punya peluang global menciptakan global bond, lalu mengubah fokus ke utang dalam negeri. Demikian juga proposal Omnibus Law pemerintahan Jokowi ditolak oleh keuangan global. Bank Dunia mengatakan bahwa proyek Omnibus Law merugikan ekonomi. Artinya untuk dapat uang makin susah.
Penunjukan Menko Perekonomian sebagai ketua dan Menteri BUMN sebagai ketua pelaksana tim pemulihan ekonomi memang mengagetkan. Bagaimana bisa? Menteri Airlangga sudah lama tak terdengar namanya dalam polemik pemulihan ekonomi akibat Covid-19, tiba-tiba namanya di-upgrade jadi ketua pemulihan ekonomi.
Sepak terjang Airlangga memang tidak jelas dalam 6 bulan terakhir, tanpa terobosan, bahkan jadi polemik di publik pun tidak, karena orang tidak tahu apa kebijakannya dan apa terobosannya. Apakah beliau lebih sibuk dengan urusan partai menjelang Pilkada Serentak ini?
Sementara Menteri BUMN selaku ketua pelaksana urusannya makin banyak dan kehilangan fokus. Lagipula kondisi BUMN makin tidak beres. Utang besar, kemungkinan gagal bayar akan dialami Bank BUMN, BUMN karya, Pertamina dan PLN. Semua mengalami kesulitan cash flow sementara kewajiban meningkat akibat utang segunung.
Masalah korupsi di BUMN juga banyak, ada kasus TPPI masih buron sekarang jadi anak perusahaan Pertamina, ada kasus ASABRI, ada kasus Jiwasraya yang sampai saat ini masih memburu para tersangka. Alhasil, kemampuan Menteri BUMN dipertanyakan dalam menangani pemulihan ekonomi yang berat ini selaku ketua tim pelaksana.
Lebih bahaya lagi, penyerahan tanggung jawab ketua tim pemulihan ekonomi kepada Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto, dan Menteri BUMN itu tidak ada landasan regulasi sama sekali. Atau penyerahan tanggung jawab ini tidak ditopang oleh regulasi yang memadai.
Penyerahan tanggung jawab kepada Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri BUMN Ini seperti tindakan lepas tanggung jawab Menteri Keuangan dan Presiden Jokowi sendiri dalam pemulihan ekonomi. Pun soal pemulihan kondisi moneter, keuangan, persaingan dan lain sebagainya.
Mengapa Sri Mulyani disebut lepas tangan? Mengingat seluruh peraturan perundangan-undangan yang menjadi strategi dasar pemulihan ekonomi menyerahkan tanggung jawab ini sebagian besar disesalkan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani dan di bawah komando langsung Presiden RI.
Tidak ada kewenangan Menko Perekonomian dan Menteri BUMN dalam pemulihan ekonomi sebagaimana regulasi yang telah terbit sejak Covid-19. Bayangkan, mulai dari Perpu No 1 tahun 2020, UU No 2 tahun 2020, PP no 23 tahun 2020, Perpres 54 tentang anggaran termasuk penanganan Covid-19, dan Perpres 72 tahun 2020 semuanya telah menyerahkan kewenangan kepada menteri keuangan dibawah komando langsung presiden Jokowi.
Jadi penyerahan kewenangan ini akan menjadi pepesan kosong kalau tidak dibuat regulasi yang memadai untuk menaunginya.
Ditambah lagi kebijakan yang berubah-ubah semacam ini menjadi sumber ketidakpastian baru, siapa sebetulnya yang memimpin negara dalam penanganan krisis akibat covid dan krisis lainnya?
Upaya pemulihan ekonomi Indonesia akan menemui jalan buntu, makin berantakan. Ingatlah, di saat keadaan berantakan, keuangan negara, aset negara yang tersisa, kekayaan alam yang tersisa, akan menjadi ajang bancakan oligarki ramai-ramai.
Oleh karena itu Pemerintah dan DPR harus membuat regulasi dalam rangka memfokuskan kembali penanganan krisis akibat Covid-19 dan krisis lainnya. Sementara fokus program harus diarahkan pada pemulihan ekonomi bagian terbawah dalam bangunan ekonomi Indonesia.
Ini maksudnya adalah merangsang kembali produksi, produktivitas, pendapatan, dan daya beli masyarakat. Bantuan keuangan dan kredit harus juga diarahkan kepada lapisan ekonomi terbawah, dalam rangka menggairahkan ekonomi kembali.
Fakta bahwa BPS mengumumkan ekonomi Indonesia mengalami deflasi hingga 10 persen, menandakan daya beli masyarakat sedang ambruk. Terobosannya ya sederhana, bagi uang dalam bentuk bantuan langsung cash transfer, insentif petani dan UMKM, kredit murah berbunga sangat rendah.
Darimana sumber uangnya? Pemerintah harus mengoptimalkan dana Industri Keuangan Non Bank (IKNB) dengan insentif regulasi, kebijakan, jaminan pemerintah. Dana IKNB sebagai kekuatan penting ekonomi dapat diarahkan untuk memperkuat ekonomi lapisan bawah dalam masyarakat kita. (Rmol)