Penulis: Henrykus Sihaloho*
BAPAK Presiden yang kami muliakan,
Hari ini kami menyampaikan twit di Twitter yang memuat usulan kami kepada Bapak Presiden agar Bapak melibatkan Bapak Rizal Ramli dalam memulihkan ekonomi kita yang terpaksa berjalan tertatih-tatih akibat pandemi Covid-19.
Usulan kami yang isinya senada telah kami sampaikan di Twitter dua hari yang lalu.
Selengkapnya, usulan kami tersebut berbunyi, “Dua puluh thn lalu (23-8-2000) Pres Abdurahman Wahid melantik @RamliRizal jadi Menko Ekuin. Lima thn lalu (12-8-2015) Pres @jokowi mengangkat RR jadi Menko Maritim. Demi Tuhan & rakyat yg berkehendak baik, meski hrs bersimpuh di kaki Bpk, sy mohon Bpk di bulan ini berbuat sama lg.”
Bapak Presiden, terus terang, lima tahun yang lalu (12 Agustus 2015), ketika Bapak melantik Bapak Rizal Ramli menjadi Menko Kemaritiman dan Sumber Daya, kami bahagia sekali.
Tidak hanya di depan teman-teman sekerja, kami juga menceritakan kebahagiaan kami yang luar biasa itu kepada sejumlah keluarga. Kami juga menyampaikan kebahagiaan kami itu di akun Facebook. Sayang sekali, usia kebahagiaan itu berumur pendek.
Mengingat gaung usul yang kami sampaikan di Twitter hari ini dan dua hari yang lalu itu pasti sangat jauh dari memadai, kami memberanikan diri menyampaikan usulan itu melalui RMOL.ID. Kami memang bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa.
Maafkan kami bila kami menyalurkan aspirasi kami ini secara terbuka. Kami yakin, aspirasi kami ini mewakili aspirasi minimal puluhan juta rakyat Indonesia yang berkehendak baik.
Hari ini kami mencoba menggali kembali kepiawaian Bapak Rizal Ramli melalui Wikipedia dan rmol.id. Hasil penelusuran kami tentang beliau semakin membuat kami sedih sekali bila Presiden masih enggan memanggil kembali beliau, sang mutiara dari ranah Minang ini, di tengah pandemi Covid-19 dan ancaman resesi yang bukan tidak mungkin berlanjut ke depresi ekonomi, dan bahkan lebih parah lagi bisa membuat Indonesia lenyap dari peta dunia seperti Yugoslavia.
Menyebut beliau mutiara rasanya masih kurang. Beliau jauh lebih bernilai dari itu. Kita patut berdecak kagum karena belaiu pernah menjadi penasihat ekonomi PBB bersama ekonom internasional lainnya seperti peraih Nobel Ekonomi, Amartya Sen dari Universitas Harvard dan dua peraih nobel lainnya, Sir James Mirrlees Alexander dari Inggris dan Rajendra K. Pachuri dari Universitas Yale, Helen Hunt dari UNDP, Francis Stewart dari Universitas Oxford, Gustave Ranis dari Universitas Yale, Patrick Guillaumont dari Prancis, Nora Lustig dari Argentina, dan Buarque dari Brasil.
Kami semakin terkagum-kagum manakala mengetahui kritik beliau mengenai proyek ambisius listrik 35.000 MW, inefisiensi pembelian pesawat jumbo oleh Garuda Indonesia, dan mega korupsi di Pelindo II menemukan kebenarannya. Faktanya, tahun 2018 Garuda Indonesia merugi Rp2,45 trilyun dan audit BPK menyebut empat proyek Pelindo II menyebabkan kerugian Rp6 trilyun.
Bila akademisi sekelas kami “mendengar” beliau, itu tidak aneh. Akademisi dan ekonom sekelas Profesor Anwar Nasution yang lulusan Universitas Harvard, mantan Deputi Gubernur Senior BI, dan mantan Ketua BPK pun “mendengarkan” beliau. Buah manisnya, Bank BII selamat tanpa kucuran dana talangan.
Kami termasuk orang yang beruntung lantaran pernah mengenal beliau lebih dekat dan pernah mendengarkan pandangan beliau saat Panitia Khusus Pertambangan DPD RI mengundang beliau sebagai narasumber atas permintaan almarhum Bapak Mayjen (Purn.) Ferry FX Tinggogoy tahun 2012. Ketika itu kami menjadi staf ahli almarhum.
Setelah menghimpun sejumlah sepak terjang beliau saat membenahi Bulog hingga untung Rp5 trilyun, menyelamatkan PLN dari kebangkrutan dengan revaluasi aset, membuat PT Semen Gresik meraih laba dari Rp1,3 trilyun menjadi Rp1,8 trilyun, dan lain-lain, kami sampai pada kesimpulan bahwa beliau adalah praktisi dan ekonom dengan segudang akal yang tidak pernah kering.
Kami sangat menyayangkan bila “mutiara” yang tidak ternilai ini Bapak sia-siakan.
Bapak Presiden, kami menyadari tidak mudah memasukkan dalam tim orang yang berbeda. Namun menurut kami itulah tantangan bagi seorang pemimpin lantaran sebagai pemimpin ia bukan hanya menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) manajer yang sifatnya “do things right, ” tetapi juga tupoksi pemimpin yang “do the right things.”
Sebagai teladan, Paus Fransiskus, di awal menjadi Paus, bahkan dengan berani memasukkan dalam “ring 1-nya” seseorang yang rajin mengkritiknya.
Kami tidak ragu sedikit pun Bapak Presiden akan berkenan mendengarkan aspirasi kami, meskipun kami buka siapa-siapa (termasuk bukan siapa-siapa Bapak Rizal Ramli) dan bukan apa-apa, mungkin nama kami pun jauh sekali dari tangkapan radar Istana, bahkan nama kami mungkin nyaris tidak terdengar.
Toh, demi rakyat, Bapak bukan hanya pernah meminta Bapak Rizal Ramli sebagai Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya, bahkan sekarang Bapak meminta kesediaan Bapak Prabowo mengurus Kementerian Pertahanan dan Bapak Edhy Prabowo mengurus Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Kami percaya dan yakin seyakin-yakinnya, demi rakyat (baca: demi Tuhan), Bapak akan mengesampingkan keengganan Bapak untuk memanggil Bapak Rizal Ramli hanya karena khawatir dinilai kurang berwibawa bila mendengar usulan dari orang kecil seperti kami.
Selama ini pun kami dan rakyat tahu, Bapak tidak pernah malu berada bersama orang kecil dan mendengarkan suara mereka. Meskipun usulan kami kaum papa ini aneh, karena mengusulkan nama seseorang, demi kemajuan bangsa, kami tidak ragu Bapak berkenan memenuhinya, minimal memanggil beliau menjadi anggota/ketua Dewan Pertimbangan Presiden. Semoga.
*) Penulis lulusan doktor dari IPB, Bogor dan dosen Program Studi Agribisnis Universitas Katolik Santo Thomas