GELORA.CO - Pembiayaan utang yang hingga akhir tahun 2020 ini ditargetkan sebesar Rp 1.093 triliun untuk menghindari krisis membuat pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo pusing tujuh keliling.
Jika pemerintah tidak bisa memenuhi target tersebut, maka beragam program bantuan pemerintah ke sektor swasta tidak akan signifikan membantu pertumbuhan ekonomi domestik.
"Target defisit tidak terealisasi dan target penerimaan di dalam negeri juga tidak terealisasi, jadi bagaimana mungkin pemerintah bisa membiayai krisis seperti sekarang?" ujar pengamat ekonomi politik Universitas Bung Karno, Salamuddin Daeng dalam sarasehan virtual Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DN-PIM), Kamis (13/8).
"Karena kita ketahui krisis sekarang terjadi di sektor swasta, di mana mereka tidak akan selamat kalau tidak ada bantuan atau dukungan dari pemerintah," sambungnya.
Di sisi yang lain, analis dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) ini mengatakan, kepercayaan publik, termasuk dunia internasional terhadap pemerintah sangat rendah dalam hal memberikan utang.
Sebabnya, kata Daeng, regulasi dan kebijakan yang dibuat pemerintah berubah-ubah. Misalnya, perubahan Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, keluarnya sejumlah PP, Perpres danatau Keppres. Termasuk soal perubahan tim pemulihan ekonomi.
Dalam tim pemulihan ekonomi, awalnya cukup diserahkan kepada Kemenkeu bersama BI, OJK, LPS dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang didasari dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) serta undang-undang. Namun saat ini pemerintah kembali membuat tim baru yang diketuai Menko Perekonimian dan diserahkan pelaksanaannya kepada menteri BUMN.
"Gimana dan apa sebetulnya? Dari sisi regulasi dan organisasi untuk menyelesaikan krisis saja sudah menciptakan ketidakpastian tersendiri," kritiknya.
Oleh karena itu, Salamuddin Daeng berkesimpulan bahwa kondisi bangsa dan negara Indonesia ini bukan hanya diancam krisis alias resesi ekonomi, tapi juga tengah menuju ke arah resesi di bidang politik.
"Ini bukan hanya sekadar resesi ekonomi seperti yang dilihat para ekonom, tapi sudah menjadi resesi kita di bidang politik dan sosial, karena ketidakpastian di dalam strategi kita di dalam bernegara. Nah ini yang akan menjadi masalah ke depan," pungkasnya. (Rmol)