GELORA.CO - Vaksin tersebut sudah dinamai dengan Sputnik V, sebelumnya Gam-COVID-Vac. Vaksin dikembangkan oleh Gamaleya Research Insitute dan Kementerian Pertahanan Rusia.
Direktur Institute for Vaccine Safety di Johns Hopkins University, Daniel Salmon dan berbagai pakar lain mengatakan, Rusia mengambil langkah berbahaya dengan tidak mengindahkan uji klinis tahap 3 yang berfungsi untuk menentukan apakah vaksin aman untuk diberikan kepada manusia.
"Saya pikir itu sangat menakutkan. Ini sangat berisiko," ujar Salmon seperti dikutip Reuters.
Tidak seperti obat percobaan yang diberikan kepada orang sakit, Salmon mengatakan, vaksin dimaksudkan untuk diberikan kepada orang sehat secara massal. Sehingga mereka harus melewati standar keamanan yang tinggi.
Jika ratusan juta orang mendapatkan vaksin yang tidak aman, efek samping yang langka pun dapat muncul pada ribuan orang.
Untuk menghasilkan vaksin uang aman, para peneliti sudah merumuskan berbagai langkah. Pertama, pengujian dilakukan pada hewan, seperti tikus dan monyet.
Jika penelitian pada hewan tersebut berjalan dengan baik, para peneliti kemudian meminta beberapa lusin relawan untuk uji coba Tahap 1, di mana semua relawan mendapatkan vaksin eksperimental.
Dokter biasanya mengawasi sukarelawan ini untuk memastikan mereka tidak langsung mengalami reaksi negatif, dan untuk melihat apakah mereka membuat antibodi terhadap patogen. Tidak jarang ada efek samping seperti pegal pada otot atau bahkan demam ringan, tetapi gejala ringan ini biasanya tidak berlangsung lama.
Jika uji coba Tahap 1 tidak menghasilkan masalah keamanan yang serius, maka peneliti biasanya beralih ke uji coba Tahap 2, di mana mereka menyuntikkan ratusan orang dan membuat pengamatan yang lebih rinci.
Uji coba Tahap 3 jauh lebih penting karena terlepas betapa berhasilnya hasil awal, Tahap 3 bisa gagal.
Uji klinis paling awal kandidat vaksin Covid-19 sendiri dimulai pada Maret. Saat ini, ada 29 kandidat vaksin yang mulai melakukan uji klinis kepada manusia, termasuk AstraZeneca, Moderna, Novavax dan Pfizer.
Dari segi waktu, ahli biostatistik dan penyakit menular Universitas Florida, Natalie Dean mengatakan, Rusia tidak mungkin memiliki data yang cukup untuk kemanjuran produk jika ditinjau dari waktu pengumumannya.
Dean mencatat bahwa bahkan vaksin yang menghasilkan data yang menjanjikan dari uji coba awal pada manusia pun dapat gagal pada tahap selanjutnya.
Ahli vaksin Satuan Tugas untuk Kesehatan Global, Dr. Steven Black mengatakan, dalam uji coba bersar terkontrol secara acak, para peneliti memberikan vaksin atau plasebo kepada puluhan ribu orang, dan menunggu mereka untuk menemukan virus di dunia nyata.
Jika suatu vaksin efektif, lebih sedikit sukarelawan yang divaksinasi yang akan sakit daripada mereka yang menerima plasebo.
Namun, para peneliti Rusia sendiri belum memulai uji coba dalam skala besar tersebut.
Pada Juni, Gamaleya mendaftarkan uji coba fase 1 dan 2 gabungan dengan mengujinya pada 38 relawan. Tetapi hingga saat ini belum ada publikasi data hasil penelitian tersebut.
Hingga pada Selasa (11/8), Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan, pihaknya sudah meregistrasi vaksin Covid-19 buatan mereka dan mengatakan vaksin tersebut berhasil mengembangkan kekebalan tubuh terhadap Covid-19.
"Ini semua sangat bodoh," ujar ahli virus di Weill Cornell Medical College, John Moore.
Ia mengatakan, Putin tidak memiliki vaksin Covid-19, melainkan hanya membuat pernyataan politik semata.
Sputnik V sendiri dibuat dengan mengembangkan adenovirus, virus flu yang tidak berbahaya, yang membawa virus corona. Selain Gamaleya, AstraZeneca dan Johnson&Johnson juga melakukan pengembangan yang sama(rmol)