GELORA.CO - Ribuan pengunjuk rasa masih memenuhi pusat Kota Beirut, Lebanon. Mereka menuntut pertanggungjawaban pemerintah atas ledakan dahsyat di pelabuhan pada Selasa malam (4/8).
Dari laporan Al Jazeera, para pengunjuk rasa berusaha untuk mengambil alih gedung-gedung pemerintahan. Sempat mereka mengambil alih gedung Kementerian Ekonomi lalu menyebarkan dokumen kementerian dan foto Presiden Michel Aoun dari jendela.
Pengunjuk rasa juga menyerbu Asosiasi Bank Lebanon dan Kementerian Energi.
Pada Sabtu (8/8), para pengunjuk rasa juga sempat menguasai gedung Kementerian Luar Negeri, sebelum tiga jam kemudian akhirnya para tentara mengusir mereka.
Bentrokan juga terjadi antara tentara dan pengunjuk rasa di dekat jalan lingkar utama Beirut. Para tentara menyerang pengunjuk rasa dengan tongkat, sementara para pengunjuk rasa melemparkan batu ke arah petugas.
"Lepaskan seragam Anda dan berdiri bersama kami, lalu Anda bisa memakainya lagi dengan hormat," teriak seorang pengunjuk rasa kepada pasukan militer tersebut.
Pada saat yang sama, polisi anti huru hara mengerahkan gas air mata untuk membubarkan pengunjuk rasa yang mencoba menerobos penghalang untuk bisa menuju gedung parlemen.
Data dari Palang Merah Lebanon menunjukkan, sedikitnya ada 238 pengunjuk rasa yang terluka. Sebanyak 63 di antaranya harus dilarikan ke rumah sakit sementara 175 lainnya dirawat di lokasi.
Jurubicara polisi mengungkap, seorang anggotanya meninggal dunia setelah bentrokan dengan para pengunjuk rasa, 100 lainnya terluka, dengan puluhan harus dirawat di rumah sakit.
Ledakan dahsyat di Pelabuhan Beirut telah memicu keinginan reformasi yang lebih besar bagi warga Lebanon. Pasalnya, ledakan yang menghancurkan ibukota tersebut disebabkan oleh 2.750 amonium nitrat yang tersimpan dengan tidak aman di gedung pelabuhan.
Pemerintah Lebanon, termasuk Presiden Aoun disebut-sebut sudah mengetahui kondisi ribuan ton bahan peledak berbahaya tersebut namun tidak melakukan tindakan.
Sebelum dilanda ledakan, Lebanon sudah mengalami krisis ekonomi dan politik. Tahun lalu, protes besar-besaran terjadi di Lebanon untuk menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Saad Hariri karena krisis ekonomi yang menjadi. Kondisi di Lebanon semakin memburuk sejak pandemik Covid-19. (Rmol)