GELORA.CO - Pada 17 Agustus 1945, di halaman rumah jalan Pegangsaan Timur No 56, Jakarta, Soekarno – Hatta atas nama Bangsa Indonesia memproklamirkan Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Di halaman rumah siapakah proklamasi tersebut di dikumandangkan?
Aktifitas menjelang kemerdekaan, bagi para tokoh pendiri republik ini, sungguh menguras banyak enerji dan pikiran. Hal inilah yang, antara lain, menyebabkan Soekarno (Bung Karno) sempat jatuh sakit. Soekarno terserang penyakit beri-beri dan malaria. Badannya kerap menggigil, panas-dingin, dan lemas. Adalah seorang pengusaha asal Yaman, Farej Said Martak, sahabat Bung Karno, memberikan madu Arab, Sidr Bahiyah, yang didatangkan dari Hadramaut, Yaman.
Madu , Sidr Bahiyah bukan sembarang madu. Khasiatnya sudah teruji sejak ratusan tahun lalu. Bersifat antibiotik dan sekaligus antiseptik. Setelah mengkonsumsi madu Sidr, kondisi Bung Karno berangsur pulih. Lalu, didampingi Mohammad Hatta, Bung Karno membacakan naskah Proklamasi di depan rumah di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini, Menteng, Jakarta.
Tahukah Anda, rumah siapakah yang terletak di Jalan Pegangsaan Timur 56 itu? Rumah ini milik keluarga Farej yang dihibahkan kepada Bung Karno. Di rumah inilah Ibu Fatmawati menjahit Bendera Merah Putih pada malam sebelum teks proklamasi dibacakan.
Atas permintaan Bung Karno, pada 1962, rumah di Jalan Pegangsaan Timur 56 itu dirobohkan. Di atas bangunan tersebut kemudian didirikan Gedung Pola, sedangkan tempat Bung Karno dan Bung Hatta berdiri saat membacakan teks Proklamasi, didirikan monumen Tugu Proklamasi. Jalan Pegangsaan Timur diubah menjadi Jalan Proklamasi.
Pemerintah Indonesia secara resmi menyampaikan ucapan terima kasih pada keluarga Martak, berupa surat secara tertulis pada 14 Agustus 1950 yang ditandatangani oleh Ir. Mananti Sitompoel sebagai Menteri Pekerdjaan Umum dan Perhubungan Indonesia. Disebutkan juga dalam surat tersebut, selain rumah di jalan Pegangsaan Timur 56, keluarga Martak telah membeli beberapa gedung lain di Jakarta yang sangat berharga bagi kelahiran negara Republik Indonesia.
Siapakah Farej bin Said bin Awadh Martak? Ia adalah putra ketiga dari empat bersaudara. Secara berurutan, kakak-kakak Farej adalah Djusman Martak dan Muhammad Martak, sedangkan adiknya bernama Ahmad Martak. Keluarga besar Martak dan keluarga Badjened mendirikan N.V. Alegemeene Import-Export en Handel Martak Badjened (Marba), dimana Farej menjadi Presiden Direkturnya. Jejak Marba masih bisa ditelusuri di Jogyakarta berupa Hotel Garuda, dan di Semarang berupa Gedung Marba.
Dari Muhammad Martak, kakak dari Farej, lahirlah seorang putra bernama Yusuf Muhammad Martak, yang juga dikenal sebagai Ketua GNPF-Ulama. Nama besar Marba kini dilanjutkan oleh Yusuf dengan aneka bidang usaha, dari restoran sampai ke biro perjalanan, dan berpusat di Tebet, Jakarta Selatan.
Dengan alur-kisah tersebut, kehadiran Yusuf Muhammad Martak di blantika pergerakan nasional bukanlah a-historis. Yusuf bukan tipe manusia yang memanfaatkan nama besar keluarga untuk kepentingan pribadinya, tapi ia merasa terpanggil agar terus berkontribusi kepada negara-bangsa ini dengan jargonnya, “Apa yang bisa kami berikan untuk republik ini”, bukan “Apa yang bisa kami ambil dari republik ini”. Inilah prinsip Nasionalis-Islamis yang sedang ditumbuhkembangkan oleh Yusuf Muhammad Martak
Kontribusi keturunan Arab tidak hanya berkait dengan rumah di Jalan Pegangsaan Timur 56, tetapi di bidang yang lain. Tengoklah Sayyid Muhammad Husein bin Salim bin Ahmad bin Salim bin Ahmad al-Muthahar yang dikenal dengan nama H. Mutahar (5 Agustus 1916 -9 Juni 2004), penggubah lagu Syukur (Januari 1945), mars Hari Merdeka (1946), dan Dirgahayu Indonesiaku yang menjadi lagu resmi ulang tahun ke-50 Kemerdekaan Indonesia.Muthahar yang aktif berkomunikasi dengan 6 bahasa asing itu adalah salah seorang keturunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Kehadiran keluarga Martak dan Muthahar adalah fakta bahwa keturunan Arab di Indonesia punya kontribusi yang tidak kecil bagi kelahiran republic ini. []