GELORA.CO - Pengamat politik Prof Salim Said angkat bicara terkait lahirnya Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia atau KAMI.
Menurut Salim, gerakan seperti KAMI bukan barang baru di Indonesia. Gerakan seperti itu sudah ada sebelum Indonesia merdeka.
Karena itu, Salim meminta semua pihak tidak perlu terkejut dan curiga macam-macam tentang keberadaan KAMI.
Salim mengaku mengalami dan mengamati perubahan politik dari Orde Lama ke Orde Baru dan dari Orde Baru ke era Reformasi. Dan hal seperti itu selalu terjadi.
Dalam setiap ada perubahan, kata Salim, yang terlibat cuma elit, rakyat tidak terlibat. Lama kelamaan jarak antara rakyat dengan elit semakin jauh.
“Inilah yang melahirkan gerakan-gerakan seperti KAMI sekarang ini,” ucap Salim saat memberikan closing statement dalam program acara Indonesia Lawyers Club (ILC) yang disiarkan langsung TvOne, Selasa (18/8).
Salim menjelaskan, Soekarno, Hatta, dan Syahrir juga pernah melakukan gerakan seperti itu sampai dijebloskan ke penjara.
“Ini selalu begitu. Jadi tidak usah terkejut dan curiga. Peranan itu selalu tersedia. Siapa yang memainkan peranan itu? Di antara orang yang memainkan peranan itu adalah orang yang pernah memainkan peranan pada kekuasaan sebelumnya,” ucap Salim.
“Tapi kalau sekarang dia memainkan peranan baru yang kritis, itu tidak pula lantas dicurigai karena dia sakit hati. Mungkin ada satu atau dua orang sakit hati, tapi itu bukan masalah,” imbuh Salim.
Menurut Salim, persoalannya adalah ada peranan yang harus dimainkan. Maka muncullah orang seperti Said Didu (mantan Sekretaris BUMN). Dia punya latar belakang di pemerintahan. Dia bisa cerita angka-angka pembangunan, keuangan dan lain sebagainya.
“Ada orang seperti Chusnul Mariyah (mantan komisioner KPU), seorang professor politik, yang terlibat mengurus Pemilu,” katanya.
“Ada orang seperti Gatot Nurmantyo, pernah memimpin tentara kita. Apalagi tentara. Tentara itu punya tradisi terlibat politik,” tambah Salim.
Menurut Salim, dalam setiap perubahan politik, yang berubah hanya elit, dari elit jajahan menjadi elit kemerdekaan, elit republik.
“Rakyatnya gak begitu berubah, lambat sekali terjadinya perubahan, sehingga ada kesenjangan antara cita-cita, harapan, dan kenyataan. Nah ini memancing lahirnya orang-orang yang merasa terpanggil,” imbuhnya.
Salim menilai, para deklarator KAMI, seperti Gatot Nurmantyo, Chusnul Mariyah, Din Syamsuddin, Said Didu adalah orang-orang yang terpanggil untuk memainkan peranan.
Salim kemudian mengungkit salah satu kesalahan fatal Jokowi dalam menghadapi kelompok Islam. Kesalahan itu bermula dari sikap Jokowi terhadap gerakan 212 di Monas Jakarta.
Salim mengatakan, kalau saja Jokowi bisa merangkul kelompok Islam yang melakukan gerakan 212, maka masalahnya tidak akan melebar kemana-mana.
“Kalau beliau (Jokowi) menerima mereka di Istana, soalnya tidak akan menjadi kemana-mana. Akhirnya tuh sampai sekarang gak selesai-selesai,” ucap Salim.
Salim menilai, kesalahan itu terjadi lantaran Jokowi tidak memiliki penasihat politik Islam yang baik. Seharusnya ada tokoh yang menasihati Jokowi agar menerima kelompok Islam itu.
“Orang Islam di Indonesia itu kan bersatu kalau menghadapi lawan. Kalau mereka tidak dapat lawan, ya mereka cakar-cakaran sendiri,” cetus Saim.
“Kalau Pak Jokowi dapat penasihat politik Islam yang bagus, persoalan itu tidak terjadi,” pungkas Salim Said.[psid]